Scroll untuk membaca artikel
Siswanto | BBC
Rabu, 06 Januari 2021 | 11:44 WIB
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1). [ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya]

SuaraJawaTengah.id - Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir dianggap tidak akan berdampak signifikan pada gerakan terorisme di Indonesia, namun ia diprediksi bakal merebut massa simpatisan Front Pembela Islam yang baru-baru ini aktivitasnya dilarang pemerintah.

Setelah belasan tahun menjalani hukuman penjara, terpidana terorisme sekaligus pendiri Jamaah Anshorut Tauhid Abu Bakar Ba'asyir akan bebas murni pada Jumat (08/12).

Pengamat Terorisme Al Chaidar menganggap walau pernah dikenal sebagai salah satu pemimpin gerakan Islam radikal yang kerap melakukan aksi terorisme, pembebasan Ba'asyir dianggap tidak akan berdampak signifikan pada gerakan terorisme di Indonesia, sebab peran dan pengaruhnya sudah jauh berkurang.

"Tidak akan signifikan, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada gerakan terorisme karena dia adalah pemimpin tua yang sudah lewat, yang sudah tak lagi berpengaruh karena dia dianggap sudah tidak konsisten," kata Al Chaidar kepada BBC News Indonesia, Selasa (05/01).

Baca Juga: Reaksi Australia saat Dengar Abu Bakar Baasyir Dibebaskan

Setelah dibebaskan, pihak keluarga mengatakan Abu Bakar Ba'asyir akan kembali melakukan dakwah. Akan tetapi, salah satu putra Abu Bakar Ba'asyir, Abdul Rochim Ba'asyir mengaku tak bisa menjamin isi dakwah yang bakap disampaikan pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut.

Adapun Kepolisian Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan tetap akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas Ba'asyir, sebab ia disebut tidak menjalani program deradikalisasi selama pemenjaraanya.

Ba'asyir telah menjalani hukuman selama 11 tahun dari 15 tahun vonis hukuman penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus mendanai pelatihan terorisme di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia pada Juni 2011.

Pada Januari 2019, Abu Bakar Ba'asyir sempat akan dibebaskan oleh pemerintah melalui program pembebasan bersyarat dengan alasan kemanusiaan.

Namun rencana itu batal, sebab Abu Bakar Ba'asyir enggan menandatangani dokumen setia pada Pancasila dan NKRI yang menjadi syarat pembebasannya.

Baca Juga: Wiranto Gagalkan Niat Jokowi Bebaskan Abu Bakar Baasyir Jelang Pilpres 2019

Akan tetap diawasi

Pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir bakal menghirup udara bebas pekan ini setelah menjalani masa hukuman atas tindak pidana terorisme dengan vonis penjara selama 15 tahun.

Kepala bagian humas dan protokol Direktorat Jenderal Permasyarakatan Rika Aprianti mengatakan Abu Bakar Ba'asyir akan bebas dari Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur di Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (08/01) "sesuai dengan tanggal ekspirasi atau berakhirnya masa pidana".

Ba'asyir mendapat total remisi sebanyak 55 bulan, terdiri dari remisi umum, dasawarsa, khusus, Idul Fitri dan remisi sakit.

Rita menambahkan dalam pembebasan Ba'asyir pihaknya akan bersinergi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Mabes Polri.

Adapun Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menegaskan pihaknya akan terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas Ba'asyir setelah dibebaskan.

Apalagi, selama menjalani hukuman, ia tidak mau mengikuti program deradikalisasi pemerintah.

Kepolisian juga akan turut serta dalam pengawasan aktivitas Ba'asyir pascapembebasannya.

Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan, sama seperti pelaku tindak pidana lainnya, intelijen akan mengawasi pergerakan Abu Bakar Ba'asyir.

"Sifatnya, setiap orang [yang melakukan tindak pidana] akan dilakukan pemantauan, jadi bukan khusus pada Abu Bakar Ba'asyir," ujar Ramadhan dalam konferensi pers pada Senin (04/01).

"Kita ada jajaran intelijen yang terus mengawasi orang-orang yang pernah melakukan tindak pidana … Jadi kegiatannya, pergerakannya kita akan terus mengawasi," lanjutnya.

Ia menambahkan Kepolisian juga akan melakukan pengamanan saat hari pembebasan Ba'asyir.

Tak ada acara penyambutan

Salah satu putra Ba'asyir, Abdul Rochim Ba'asyir, kini dalam perjalanan menjemput ayahnya dari Sukoharjo, Jawa Tengah

Setelah bebas, Rochim mengatakan Ba'asyir akan langsung dibawa pulang ke Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Ia menegaskan, keluarga tidak akan menggelar acara penyambutan lantaran situasi pandemi Covid-19.

"Imbauan kita kepada masyarakat supaya tidak perlu datang berkerumun di sini. Jadi doakan saja Ustaz Ba'asyir dari rumah masing-masing," katanya kepada wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Kita di sini juga menghindari kerumunan karena tidak bagus untuk kesehatan kita dan juga mengganggu warga sekitar, apalagi situasi saat ini masih pandemi," katanya kemudian.

Akan melanjutkan dakwah

Lebih jauh, Rochim mengatakan setelah dibebaskan dari penjara, Ba'asyir akan melanjutkan dakwah.

Ia mengaku pihak keluarga tidak bisa menghalangi kegiatan dakwah yang dilakukan Ba'asyir setelah bebas dari penjara nanti.

"Siapa yang bisa membatasi beliau. Saya terus terang kalau sekarang upaya membatasi dakwah beliau, kebebasan berbicara beliau itu tidak bisa."

"Pemerintah yang punya kuasa saja tidak takuti apalagi seorang anak. Kalau saya ngomong pasti dibilangin wis kowe cah cilik rasah ngomong macem-macem, " kata dia saat ditemui di Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki, Selasa (8/1).

Menurut Rochim, bagi Ba'asyir dakwah merupakan kewajiban sebagai seorang ulama dan bagian dari menyampaikan ajaran Islam.

"Untuk urusan ini ustaz Abu Bakar Ba'asyir itu memang tidak peduli, artinya kalau ada yang mau menghalangi siapapun dalam urusan kewajiban melaksanakan kewajiban, siapapun beliau akan lawan. Itu memang karakternya beliau seperti itu," tegasnya.

Meski demikian, dengan kondisi fisik yang kian melemah dibandingkan sebelum mendekam di penjara, pihak keluarga memperkirakan Ba'asyir akan lebih banyak di rumah dan menyampaikan dakwah dari rumah.

"Yang penting bagi keluarga, beliau bisa sehat, bisa berdakwah sesuai dengan kemampuannya karena itu kewajibannya sebagai seorang ulama," katanya.

'Pemimpin oportunis dan populis'

Pakar Terorisme Al Chaidar, mengungkapkan pembebasan Ba'asyir tidak akan berdampak signifikan pada gerakan terorisme di Indonesia, sebab peran dan pengaruhnya sudah jauh berkurang.

"Dia sudah berada di titik nadir, artinya pendukungnya mungkin tinggal 10%, paling banyak, dari 16.000 ketika ia ditangkap. Paling sekarang tinggal 160 orang. Saya kira tidak banyak lagi yang mau mendukung dia itu," jelas Al Chaidar.

Ia menggolongkan Abu Bakar Ba'asyir sebagai "pemimpin oportunis dan populis", yang tidak konsisten.

"Ia adalah orang terpengaruh dan mengikuti apa yang disarankan oleh pengikutnya."

Ketika Abu Bakar Ba'asyir meninggalkan Jamaah Islamiyah, kata Al Chaidar, banyak pendukungnya yang kecewa dan berpaling darinya.

Ia kemudian bergabung ke Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan menjadi pemimpin kelompok itu.

Namun tiba-tiba, menurut Al Chaidar, Abu Bakar Ba'asyir mengkritisi sistem organisasi MMI yang disebutnya sebagai "sistem Yahudi".

"Itu membuat kecewa orang-orang Majelis Mujahidin di Yogyakarta dan seluruh cabangnya yang ada di Indonesia," terang Al Chaidar.

Lalu, ketika meninggalkan MMI dan mendirikan JAT, Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam pelatihan terorisme di Bukit Jalil, Aceh.

Ia kemudian diadili atas keterlibatannya dalam pelatihan teroris itu. Namun di pengadilan, ia membantahnya.

Al Chaidar melanjutkan Abu Bakar Ba'asyir telah mengecewakan pendukungnya ketika pada 2014 - ketika menjalani vonis hukuman penjara - ia meninggalkan JAT dan bergabung ke Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang mendukung ISIS.

Itu membuat semua pengikutnya di JAT meninggalkan Ba'asyir dan membentuk organisasi bernama Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) pada 2015.

Kelompok-kelompok Jamaah Islamiyah, dan kelompok pendukungnya yang lain menganggap perubahan haluan itu sebagai "sikap plin-plan" Abu Bakar Ba'asyir.

"Semua pendukung setia dia sudah meninggalkan dia hingga hari ini," kata Al Chaidar.

Lebih lanjut, pengamat terorisme yang juga dosen Antropologi di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe itu mengatakan ketika bergabung dengan JAD, ia berbaiat kepada ISIS.

Menurut Al Chaidar, itu membuat Ayman al-Zawahiri - penerus Osama bin Laden di Al Qaeda - murka. Selama ini, Al Qaeda berada di belakang kegiatan Jamaah Islamiyah di Indonesia.

Selama ini, ISIS dipandang sebagai musuh utama Al Qaeda yang berkonfrontasi langsung di Suriah, Irak, Yaman dan Afghanistan.

"Ini menunjukkan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir tidak lagi didukung dan tidak lagi memiliki afiliasi apapun. Al Qaeda kemudian bahkan memutuskan untuk tidak mendukung ustaz Abu Bakar Ba'asyir," katanya.

Setelah tidak ada dukungan lagi, pada tahun 2018, ia keluar dari JAD atas permintaan pendukungnya yang berada di bawah JAS.

"Ketika ia keluar, itu membuat orang-orang ISIS tak lagi mengidolakan dia dan justru mengidolakan Aman Abdurrahman yang berani menerima hukuman mati ketimbang ustaz Abu Bakar Ba'asyir yang selalu menyiapkan tim pembelanya untuk menghindari hukuman mati," kata Al Chaidar.

"Dia dianggap tidak cukup radikal," lanjutnya.

'Pemimpin tua yang melayang-layang'

Lebih lanjut Al Chaidar menyebut Abu Bakar Ba'asyir sebagai "floating leader, atau pemimpin tua yang melayang-layang".

Sehingga, dibebaskannya Abu Bakar Ba'asyir dari penjara, ia ibaratkan "seperti berada di ruang hampa".

"Tidak ada massa yang menyambut dia. Ini sebuah tragedi bagi pemimpin jihad yang sangat luar biasa," ujarnya.

Akan tetapi, pembebasan Abu Bakar Ba'asyir setelah pemerintah melarang aktivitas Front Pembela Islam (FPI), ditambah pemimpin FPI Rizieq Shihab kini menjalani proses hukum, akan menguntungkan Abu Bakar Ba'asyir.

"Saya melihat dalam perkembangan terakhir, ustaz Abu Bakar Ba'asyir kemungkinan akan merebut massa FPI dan dia akan menyamakan warna fatwa dan tauziyah dia dengan gaya dan langgam pendukung FPI," jelas Al Chaidar.

Gaya dan langgam pendukung FPI, kata Al Chaidar, "lugas, nasionalistik dan islami, radikal boleh tapi tidak menganjurkan kekerasan".

Selain itu, jika ingin menggaet massa FPI maka Ba'asyir akan bersifat inklusif,

"Yang tadinya bersifat anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah, dia mungkin tidak akan berkomentar tentang itu," katanya.

"Untuk melihat apakah tendensi ini benar atau tidak, kita lihat sepuluh hari setelah dia dibebaskan," lanjut Al Chaidar.

Lantas, siapa pemimpin yang paling berpengaruh?

Al Chaidar menganggap, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah, Abu Tholut adalah pemimpin yang paling berpengaruh, sebab ia mampu mengubah metode perjuangan Jamaah Islamiyah.

"Yang bisa melakukan itu bukan Abu Bakar Ba'asyir, melainkan Abu Tholut dan dia sangat dihormati oleh berbagai angkatan di Jamaah Islamiyah, termasuk Dulmatin," katanya.

Ansyaad Mbai, ketika menjabat sebagai BNPT, pernah menyematkan label "teroris paling berbahaya" kepada Abu Tholut.

Ia dianggap lebih berbahaya ketimbang gembong teroris Noordin M Top dan Dulmatin.

Abu Tholut disebut telah bebas pada 2015, setelah menjalani vonis hukuman penjara 8 tahun atas keterlibatannya dalam aksi terorisme di Medan.

Ia memprediksi Abu Tholut akan berperan sebagai pemimpin gerakan Islam radikal yang akan menjadi "gerakan oposisi yang paling logis dan rasional".

"Dia bisa menterjemahkan manhaj atau metode dan cara-cara keagamaan secara Islam dalam merebut kekuasaan," katanya.

Walaupun, kata Al Chaidar, saat ini Abu Tholut tidak dianggap sebagai seorang imam lantaran ia menghindari hal tersebut karena masih ingin bergerak di atas tanah.

"Kalau suatu saat nanti dia dalam dalam satu setting sejarah mengharuskan dia harus bergerak di bawah tanah, maka dia memiliki infrastruktur jaringan yang sangat luas dengan metode yang pernah dipakai Jamaah Islamiyah yang bisa menyebar ke seluruh Asia Tenggara, tidak hanya Indonesia," jelas Al Chaidar.

Adapun pendiri JAD, Aman Abdurrahman, kata Al Chaidar, hanya diikuti oleh pendukung yang sangat tradisonal.

"Banyak dari mereka yang ikut dalam gerakan ISIS dan JAD adalah mereka-mereka yang tidak begitu mengandalkan logika dan itu akan habis dengan sendirinya," kata Al Chaidar.

Selain itu, lanjutnya, aksi yang mereka lakukan sangat brutal dan cara mereka beroposisi melawan negara layaknya "pemberontak primitif".

"Jadi nggak secanggih dan sehebat Jamaah Islamiyah yang mengadopsi teori-teori dan manajemen modern."

JIka disandingkan antara Aman Abdurrahman dan Abu Bakar Ba'asyir, Al Chaidar menganggap Aman lebih "sangat radikal" ketimbang Ba'asyir.

"Ia sangat hitam putih dan tidak memiliki referensi yang rumit. Sehingga karena hitam putih itulah dia gampang didukung oleh pengikutnya yang rata-rata kurang pendidikan," katanya.

Aman Abdurrahman dijatuhi hukuman mati karena terbukti menjadi penggerak sejumlah aksi teror di Indonesia.

Antara lain, aksi teror bom di gereja Samarinda pada 13 November 2016, bom Thamrin pada Januari 2016, bom Kampung Melayu pada 24 Mei 2017, serta penusukan polisi di Sumut dan penembakan polisi di Bima pada 2017.

Load More