SuaraJawaTengah.id - Presiden Joko Widodo menyinggung perihal hasil dari subsidi untuk pupuk pertanian. Dia mengatakan setiap tahun pemerintah memberikan anggaran Rp33 Triliun untuk subsidi pupuk. Namun, menurutnya hasil dari sektor pertanian belum dapat dirasakan.
Menanggapi hal tersebut, salah satu petani di Banyumas, Eko Wid yang merupakan warga Desa Notog, Kecamatan Patikraja menjelaskan selama ini dirinya cukup kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi.
Masalahnya, dikarenakan dirinya belum memiliki kartu tani. Sedangkan menurutnya, di desanya saja, kepemilikan kartu tani masih dibatasi hanya untuk 160 petani.
"Di Desa Notog sendiri hanya ada kuota kartu tani sebanyak 160 orang. Itu sudah terpenuhi. Begitu orang lain yang juga petani ingin mendapatkan kartu tani tidak bisa karena kuota sudah terpenuhi. Padahal masih ada ratusan orang di Desa Notog yang petani tapi belum punya kartu tani," katanya saat ditemui, Selasa (12/1/2021).
Bukan hanya itu permasalahan yang dihadapi petani. Meskipun memiliki kartu tani, mereka juga dibatasi kepemilikan pupuk bersubsidi. Padahal setiap massa panen, para petani ini harus dua kali memupuk padinya.
"Bukan hanya orang yang tidak kartu tani saja, yang punya kartu tani pun tidak cukup pupuknya. Karena hanya dibatasi 100 kg per 0,1 hektar saja. Itu kurang banget. Sawah itu pemupukan dua kali. Pemupukan pertama setelah tanam, lalu kedua menjelang berbuah. Pemupukan pertama membutuhkan 50 kg urea dicampur 15 kg TSP per 0,25 hektar," jelasnya.
Ia membandingkan harga pupuk bersubsidi pada tahun lalu yang hanya Rp1.800 per kg dengan yang non subsidi dengan harga Rp7000 per kg. Namun kualitasnya berbeda.
"Bagus yang non subsidi itu, saya heran. Padahal itu subsidi, tapi kualitasnya jauh banget dengan non subsidi. Kalau dilihat dengan angka pemerintah yang memberikan Rp 33 triliun untuk pupuk subsidi, harusnya kualitasnya bisa sama. Tapi nyatanya yang subsidi kualitasnya jelek. Sehingga membutuhkan banyak pupuk," terangnya.
Selain masalah pupuk, menurutnya petani juga dihadapkan dengan banyak masalah. Hasil panen terakhir, ditingkat petani masih banyak yang kesulitan untuk menjual gabah kering. Padahal harganya hanya Rp 5000 per kg. Cukup untuk ongkos produksi.
Baca Juga: Paranoid Covid-19, Warga Banyumas ini Tutup Rapat Rumahnya dengan Seng
"Banyak pedagang tidak mau membeli, sebabnya karena Bulog tidak melakukan penyerapan. Kemudian ada program BLT non tunai yang diberikan dalam bentuk beras," tuturnya.
Stok miliknya saja di gudang untuk panenan terakhir, masih ada 3 ton karena tidak bisa menjual. Sedangkan tetangganya, masih ada stok 10 ton karena tidak ada yang mau membeli.
Kontributor : Anang Firmansyah
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
Terkini
-
BRI Perkuat Aksi Tanggap Bencana Alam, 70 Ribu Jiwa Terdampak Beroleh Bantuan
-
PSIS Semarang Gegerkan Bursa Transfer: Borong Tiga Pemain Naturalisasi Sekaligus
-
8 Wisata Terbaru dan Populer di Batang untuk Libur Sekolah Akhir 2025
-
5 Rental Mobil di Wonosobo untuk Wisata ke Dieng Saat Libur Akhir Tahun 2025
-
Stefan Keeltjes Enggan Gegabah Soal Agenda Uji Coba Kendal Tornado FC