Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 29 Januari 2021 | 15:13 WIB
Kelenteng Tek Hay Kiong, Kota Tegal menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, Kamis (28/1/2021). [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - Kota Tegal memiliki kelenteng berusia ratusan tahun yang masih digunakan untuk tempat beribadah warga keturunan Tionghoa hingga saat ini.

Kelenteng itu yakni Kelenteng Tek Hay Kiong yang berlokasi di Jalan Gurami, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat.

Selain usianya yang sudah berusia sekitar empat abad, kelenteng ‎ini memiliki gamelan pusaka yang menjadi bukti akulturasi dan asimiliasi antara budaya China dengan budaya Jawa.

Pengurus Kelenteng Tek Hay Kiong, Chen Li Wei Dao Chang mengungkapkan, Kelenteng Tek Hay Kiong diperkirakan dibangun pada 1760‎. Pembangunan kelenteng ini untuk menghormati tokoh bernama Kwee Lak Kwa.

Baca Juga: Gulung Tikar, Pengusaha Warteg Ramai-ramai Pulang Kampung

‎"Tokoh ini dipercaya pernah hidup di Kota Tegal dan beliau mencapai tingkat kedewaan di laut Tegal," ujar Chen Li saat ditemui Suara.com, Kamis (28/1/2020).

Untuk mengenang tokoh tersebut, setiap perayaan Tahun Baru Imlek, Kele‎nteng Tek Hay Kiong menggelar kirab gotong Toa Pe Kong ke Pelabuhan Tegal dan mengadakan ritual sembahyang di lokasi tersebut.

‎"Itu untuk mengenang tokoh Kwee Lak Wa yang moksa menjadi dewa mendapat gelar Tek Hai Cin Jin," ujarnya.

Menurut Chen Li, ‎pendirian Kelenteng Tek Hay Kiong tak bisa dilepaskan dari pergolakan politik Kerajaan Mataram. Setelah ada perpanjian Giyanti pada 1755, Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yakni Surakarta Hadiningrat dan Yogyakrta Hadininingrat.

"Setelah ada perjanjian Giyanti, otomatis Tegal menjadi wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan Mataram. Sepanjang wilayah Pantura termasuk Tegal jatuh ke VOC. VOC dengan politik devide et empira‎ membagi komunitas-komunitas di Tegal. Jawa sendiri, Arab sendiri, Tionghoa sendiri," ujarnya.

Baca Juga: Naik 2 Kali Lipat karena Covid, 190 Orang Dimakamkan Setiap Hari di Jakarta

‎Pada waktu itu, lanjut Chen Li, VOC menunjuk opsir untuk mengawasi dan mengontrol orang-orang Tionghoa di Tegal. Selain mengurusi hak-hak sipil orang-orang Tionghoa seperti akta kelahiran dan kematian, opsir dengan pangkat kapiten itu juga bertugas mendirikan dan mengurus kelenteng.

Hal ini karena pada waktu itu kelenteng menjadi pusat orang-orang Tionghoa untuk berkumpul dan beribadah.

"Opsir pertama di Tegal kurang jelas tahunnya berapa, tapi kelenteng Tegal diperkirakan berdiri tahun 1760 untuk menghormati Tek Hai Cin Jin‎," ujar Chen Li.

Menurut Chen Li, berdasarkan prasasti yang ada di kelenteng, pada awal berdiri, Kelenteng Tek Hay Kiong bernama Jin Jin Bio. Perubahan nama menjadi Tek Hay Kiong terjadi setelah kelenteng direnovasi besar-besaran pada 1837 karena kondisinya rusak.

Opsir Tegal kala itu, Tan Kun Hwai, mendatangkan tukang-tukang dan material dari Tiongkok untuk merenovasi total kelenteng.

"Jadi bangunan sekarang masih bangunan asli hasil renovasi tahun 1837. Yang baru itu bangunan-bangunan di sampingnya saja. Nama lama diubah jadi Tek Hay Kiong. Kiong itu artinya tempat peribadahan agama Tao. Secara harfiah artinya istana, artinya ini tempat istana untuk memuja tokoh Tek Hay Jin Jin," ungkap Chen Li.

Tak hanya bangunannya yang masih asli, kelenteng Tek Hay Kiong juga ‎memiliki gamelan pusaka bernama Kiai Naga Mulya. Seperti bangunan kelenteng, gamelan ini juga sudah berusia ratusan tahun. "Gamelannya dibuat ‎tahun 1860 kalau tidak salah. Dibuat di Purworejo," ujar Chen Li.

‎Chen Li mengatakan, gamelan tersebut disimpan di ruangan khusus di dalam kelenteng yang dikunci. Sebagai gamelan pusaka, gamelan ini tidak bisa sembarangan dikeluarkan dan dimainkan.

‎"Kalau mau dikeluarkan untuk dipentaskan harus ada ritual dulu. Setelah ritual dilakukan pembersihan. Setelah pembersihan dilakukan ritual lagi sebelum dipentaskan. Setelah dipentaskan, ada pembersihan lagi dan ritual sebelum ruangan tempat menyimpan ditutup," ujarnya.

Ritual yang dilakukan tersebut sama dengan ritual yang biasa dilakukan di kalangan orang Jawa, lengkap menggunakan sesajen seperti nasi liwet, kemenyan, dan kembang telon.

Terakhir kali, gamelan Kiai Naga Mulya dikeluarkan dan dimainkan untuk pagelaran pada 2017 lalu saat ulang tahun ke-180 kelenteng dihitung dari renovasi total pada 1837. Saat itu, gamelan memainkan lagu-lagu Jawa untuk mengiringi pentas wayang dalang Ki Anton Surono.

"Dulu dalang Enthus (Ki Enthus Susmono, dalang dan mantan Bupati Tegal) tahun 2012 sempat ngomong ingin main gamelan pusaka ini, tapi dewa di sini tidak berkenan mempagelarkan. Baru berkenan 2017, dan siapa saja yang mau memainkan ditanyakan, termasuk lagunya. Lagunya lagu Jawa,"‎ cerita Chen Li.

‎Menurut Chen Li yang juga pemuka agama Thao, keberadaan gamelan di kelenteng karena pengurus kelenteng pada awal-awal berdirinya kelenteng menggemari budaya Jawa yang menjadi budaya mayoritas warga Tegal.

"Pengurus waktu itu dulu banyak menggemari budaya rakyat, di antaranya gamelan. Sering dipagelarkan di kelenteng pada jaman dulu," sebutnya.

Sejarawan Pantura, Wijanarto‎ mengatakan, keberadan gamelan di Kelenteng Tek Hay Kiong merupakan bukti akulturasi sekaligus asimilasi budaya di Tegal.

"Gamelan itu merupakan ‎persembahan untuk menghormati tradisi Jawa. Selain gamelan, di Kelenteng Tek Hay Kiong juga ada sajen khas orang Jawa," ujarnya kepada Suara.com, Jumat (29/1/2021).

Menurut Wijanarto, tradisi Jawa juga tercermin dalam tradisi kirab membawa patung dewa-dewa yang ada di Kelenteng Tek Hay Kiong ke pantai sekaligus untuk dilakukan ritual peribadatan setiap perayaan Cap Go Meh.

"Kelenteng Tek Hay Kiong merupakan kelenteng yang menghormati dewa laut. Berbeda dengan kelenteng di Losari, Brebes yang menghormati dewa bumi. Tradisi membawa patung dewa ke laut untuk dijamas setiap peryaaan cap Go Meh itu sama dengan tradisi sedekah laut di kalangan orang Jawa," ujar Wijanarto.

Kontributor : F Firdaus

Load More