SuaraJawaTengah.id - Mbah Karyo (78 tahun) masih ingat bagaimana peristiwa serangan Belanda di Kali Kemit berlangsung. Peristiwa ini menandai Agresi Militer Belanda II di wilayah Kebumen, Jawa Tengah.
Seingat Mbah Karyo, peristiwa itu diawali suara ledakan granat yang memecah kesunyian pagi. 19 Desember 1948.
“Waktu itu terdengar suara bom (granat). Orang-orang di sekitar Desa Grenggeng keluar semua. Penduduk panik dengar suara bom,” kata Mbah Karyo saat ditemui di rumahnya di Dusun Longop, Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen.
Suara ledakan berasal dari Kali Kemit yang saat itu menjadi batas garis demarkasi wilayah Indonesia dan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, 17 Januari 1948, Belanda menguasi sebagian besar wilayah Indonesia melalui negara-negara yang diklaim sebagai bentukan mereka.
Republik Indonesia hanya menguasai wilayah di sebagian besar Sumatera (kecuali negara Sumatera Timur dan Selatan), Banten, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
Kali Kemit kemudian ditetapkan sebagai batas terluar bagian barat wilayah Negara Indonesia di pulau Jawa. Pasukan beserta pejabat pemerintahan Indonesia harus keluar dari daerah pendudukan Belanda.
Perjanjian ini menyebabkan pasukan Divisi Siliwangi ditarik keluar dari wilayah Jawa Barat ke Jawa Tengah (Long March Divisi Siliwangi). Jembatan Kali Kemit menjadi pintu keluar-masuk pejabat dan tentara Indonesia yang hijrah ke Jawa Tengah.
Garis Demarkasi di Kali Kemit dijaga 7 anggota Polisi Kemanan (PK) yang berasal dari CPM. Pos penjagaan Polisi Keamanan menggunakan rumah milik warga, Prawiro Soemarto.
Serangan Belanda ke pos penjagaan, menyebabkan 7 Polisi Keamanan tewas. Namun menurut kesaksian Mbah Karyo, jumlah korban tewas saat itu lebih banyak, termasuk warga sipil.
Baca Juga: Pakai Baju Adat Sunda, Wapres Ma'ruf Amin Ajak Rakyat Indonesia Bangkit
Mbah Karyo menyebut korban tewas pada serangan itu mencapai 40 orang. Ketujuh Polisi Keamanan itu semula dimakamkan secara kurang layak di sebelah selatan Kali Kemit.
“Mereka dikubur di selatan Kali Kemit. Tapi sekarang sudah dipindah ke pemakaman yang lebih layak di Desa Grenggeng,” kata Mbah Karyo.
Setelah serangan Belanda itu warga Desa Grenggeng berhamburan mencari tempat aman. Termasuk Mbah Karyo yang saat itu masih bocah. “Saya lari kesana kemari nggak pakai celana mencari tempat aman.”
Selain harus menyelamatkan diri, Mbah Karyo dan warga lainnya juga kesulitan mendapatkan makan. Hasil panen petani biasanya dirampas tentara Belanda.
Salah satu tujuan membelah wilayah Indonesia menggunakan aturan garis demarkasi adalah memutus rantai pasokan makanan untuk tentara Republik.
“Penduduk harus mencari makanan sisa dari para tentara Belanda. Susah hidup jaman itu. Hasil panen sering diambil Belanda,” kata Mbah Karyo.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota