Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 22 Oktober 2021 | 11:33 WIB
Ilustrasi tes PCR. Pemerintah mewajibkan masyarakat yang berpergian atau penumpang untuk melakukan tes PCR meskipun sudah vaksin kedua, hal itu akan memperburuk pariwisata dan penerbangan? (Elements Envato)

Satu hal yang perlu dipikirkan pemerintah, menurut Asih, ialah bilamana banyak wisatawan tetap datang lewat jalur darat - yang membolehkan hasil negatif rapid test antigen - menggunakan kendaraan pribadi sehingga mengakibatkan kemacetan.

Asih meminta pemerintah mengevaluasi baik-baik kebijakan ini, dan segera melakukan relaksasi. Ia khawatir kalau masyarakat merespons kebijakan ini secara negatif, banyak orang akan batal datang ke Bali - dan kondisi itu tidak diharapkan masyarakat Bali.

"Karena masyarakat Bali sebenarnya sangat desperate ingin kegiatan pariwisata itu bergerak kembali sehingga ada kehidupan lagi di Bali, segera mulai secara perlahan kembali normal," ujarnya.

Mengapa pemerintah mewajibkan tes PCR untuk penumpang pesawat?

Berdasarkan Surat Edaran No. 21 tahun 2021 yang dikeluarkan Satgas Covid-19, calon penumpang moda transportasi udara dari dan ke daerah di wilayah Jawa dan Bali, serta daerah dengan PPKM level tiga dan empat wajib menunjukkan kartu vaksin minimal dosis pertama serta menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan.

Adapun perjalanan dengan moda transportasi laut dan darat, menggunakan kendaraan pribadi atau umum, mensyaratkan kartu vaksin (minimal dosis pertama) dan surat keterangan hasil negatif PCR yang berlaku 2x24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang berlaku 1x24 jam.

Juru bicara pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, menjelaskan alasan pengetatan syarat tes untuk moda udara adalah sudah tidak diterapkannya penjarakan antar tempat duduk dan kini pesawat boleh mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh.

"PCR sebagai metode tes gold standard dan lebih sensitif daripada rapidantigen dalam menjaring kasus positif diharapkan dapat mengisi celah penularan yang mungkin ada," ujarnya dalam konferensi pers.

Namun demikian, untuk mengoptimalkan upaya pencegahan penularan, pihak maskapai wajib menyiapkan tiga baris yang dikosongkan untuk pemisahan jika ditemukan penumpang yang bergejala saat perjalanan.

Baca Juga: Tes Antigen Tak Lagi jadi Syarat Penerbangan, Puan: Kenapa Dulu Covid Belum Landai Boleh?

Juru bicara kementerian perhubungan, Adita Irawati, mengatakan pengetatan persyaratan naik pesawat ini diterapkan dalam rangka menyusun langkah-langkah antisipasi menjelang Natal dan Tahun Baru 2022.

Adita menjelaskan, transportasi udara menunjukkan peningkatan seiring kondisi pandemi di Indonesia mulai melandai. Kemenhub telah mencatat peningkatan 10-12% jumlah penumpang pesawat sejak Agustus lalu.

"Jadi dengan tidak adanya pembatasan kapasitas namun dilakukan pengetatan syarat perjalanan dengan PCR, ini sebenarnya salah satu cara kita untuk melihat apakah pola ini untuk tetap menjaga agar mobilitas masyarakat itu aman dan sehat, tidak menimbulkan lonjakan-lonjakan kasus seperti kejadian Nataru sebelumnya," ujarnya.

Selain memperketat syarat untuk moda transportasi udara, Adita mengatakan pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan pada transportasi darat, termasuk bekerja sama dengan Korlantas Polri.

"Kami terus belajar dari pengalaman-pengalaman libur panjang, di tahun 2021 maupun 2020 untuk mengantisipasi agar transportasi darat, khususnya bus antar kota ini bisa mengikuti ketentuan dan tidak punya potensi untuk terjadi penularan di dalam transportasi tersebut," kata Adita.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan persyaratan tes PCR bagi penumpang pesawat udara dapat membantu mengurangi kasus baru, namun ia menilai pemerintah masih kurang berhati-hati dengan mengizinkan kapasitas maksimal pesawat hingga 100%.
Menurut Miko, seharusnya kapasitas pesawat tetap dibatasi, lalu ditingkatkan perlahan-lahan.

Load More