Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 25 Maret 2022 | 21:24 WIB
Anak putu Bonokeling kaum perempuan menunggu waktu ziarah makam dalam ritual adat Unggahan di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jumat (25/3/2022). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Dua tahun sudah, ritual adat yang biasanya diikuti oleh ribuan orang dari dua wilayah di Kabupaten Cilacap dan Banyumas Anak Putu (keturunan) Bonokeling digelar secara terbatas. Pandemi Covid-19 menjadi musabab utamanya.

Sebelum pandemi, biasanya anak putu Bonokeling berkumpul dalam satu ritual yang biasa disebut Perlon Unggahan. Mereka masih mempertahankan identitas dengan mengenakan pakaian atasan hitam, iket kepala, serta jarit.

Sedangkan untuk kaum perempuan, mengenakan atasan kemben yang dibalut dengan kain putih, serta bawahan jarit.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB ketika para kaum lelaki selesai menyembelih hewan kambing, sapi dan ayam hasil dari sumbangan para donatur anak putu untuk disantap bersama setelah ziarah selesai.

Baca Juga: Masjid-Masjid di Sumsel Bersiap Gelar Salat Tarawih Ramadhan, Tetap Terapkan Prokes

Langkah kaki para lelaki ini menuju aliran sungai kecil yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi persembelihan untuk membersihkan daging.

Anak putu Bonokeling menyiapkan bumbu masak hidangan kambing untuk acara selametan usai ziarah makam dalam ritual adat Unggahan di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jumat (25/3/2022). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Dengan beriringan, mereka bergotong-royong mengangkat keranjang yang terbuat dari bambu berisikan daging. Kegiatan ini sudah dimulai sejak pagi hari saat fajar mulai terbit dari timur.

Anak putu Bonokeling membagi tugas agar proses persembelihan segera selesai. Selain itu, para lelaki juga ada yang bertugas memetik daun pohon jati yang tumbuh disekitar. Daun jati ini nantinya digunakan untuk bungkus dan alas daging saat disajikan.

Juru bicara anak putu Bonokeling, Sumitro menjelaskan ritual prosesi unggahan adalah acara adat yang dilaksanakan setahun sekali pada saat memasuki Bulan Sadran.

"Ketentuan dilaksanakannya unggahan itu saat hari Jumat terakhir pada Bulan Sadran menjelang puasa. Jadi tiap tahunnya, anak putu komunitas Bonokeling berkunjung kesini untuk ziarah ke makam leluhur Bonokeling," katanya kepada Suara.com, Jumat (25/3/2022).

Baca Juga: Ramadan Segera Tiba, Pratama Arhan: Saya Muslim, Saya Wajib Puasa

Persiapan untuk unggahan dilakukan dari dua bulan sebelum pelaksanaan. Karena pelaksanaan ritual adat sendiri, melibatkan orang banyak termasuk dari Kabupaten Cilacap.

Untuk rangkaian sendiri, biasanya anak putu dari Kabupaten Cilacap memulai dengan Laku Lampah (berjalan kaki) dengan jarak puluhan kilometer menuju area pasemuan di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Prosesi jalan kaki ini dilakukan sehari sebelum unggahan.

Namun karena terkendala pandemi, dalam tiga tahun ini prosesi jalan kaki ditiadakan. Biasanya ribuan anak putu secara beriringan menyusuri jalan aspal dan perbukitan.

"Pada tahun kemarin itu paling perwakilan dari Kabupaten Cilacap sebanyak 15 orang. Sehingga sekarang ini lebih dari 500 orang. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Pak Bupati karena sudah mengijinkan," terangnya.

Untuk menuju kesini tanpa Laku Lampah, sekitar 800 an anak putu Bonokeling dari Kabupaten Cilacap diangkut menggunakan kendaraan mobil pada Kamis (24/3/2022). Meski begitu, tidak mengurangi khidmatnya prosesi unggahan.

Sebetulnya, masyarakat komunitas Bonokeling kerap kali melakukan ritual adat. Dalam satu tahun saja ada lebih dari 40 kali kegiatan. Hanya saja, ritual unggahan yang paling populer di mata masyarakat luas.

"Dari semalam itu sudah dilakukan ritual doa di pasemuan. Pasemuan itu adalah tempat berdoa apabila acara baik tahunan maupun bulanan. Rangkaian acara di Bonokeling setahun bisa sampai 40 kali. Cuma yang orang ketahui hanya unggahan. Sebenarnya setiap bulan ada acara yang kita sebut Perlon," jelasnya.

Biasanya, ritual unggahan memakan waktu lama. Bahkan bisa selesai hingga pukul 22.00 WIB malam saking banyaknya yang berziarah secara bergantian satu persatu. Masyarakat selain anak putu dilarang untuk memasuki area makam Bonokeling. Hal ini bertujuan untuk menghormati para anak putu yang khusuk berdoa.

Dari pukul 11.00 WIB, anak putu beriringan memasuki area makam didahului dengan kaum perempuan. Masyarakat komunitas Bonokeling sangat menghargai kaum perempuan sudah sedari dulu. Terlihat dari cara lelaki memperlakukan kaum perempuan. Termasuk kegiatan masak-memasak.

"Sekitar jam 11 mulai masuk makam karena menunggu masak-masak kambing (becekan) setengah matang. Kemudian baru naik ke atas. Karena banyak tamunya pasti selesainya sampai malam. Setelah selesai baru selamatan dengan makan bersama," tuturnya.

Tahun ini, ada 26 hewan kambing dan satu ekor sapi, serta ratusan ekor ayam. Sumitro sendiri tidak mengetahui hewan ini sumbangan dari siapa saja. Karena dalam prosesi ini tidak ada kewajiban untuk membawa apa saja. Tergantung kemampuan dari setiap individu.

Anak putu Bonokeling memasak hidangan kambing untuk acara selametan usai ziarah makam dalam ritual adat Unggahan di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jumat (25/3/2022). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Sosok Bonokeling sendiri, anak putu meyakini adalah tokoh spiritual dari Kadipaten Pasir Luhur (saat ini wilayah Kecamatan Karanglewas, Banyumas). Wilayah ini dulu merupakan bagian dari Kerajaan Padjadjaran. Bonokeling datang ke Pekuncen dalam rangka pembukaan wilayah pertanian.

Saat Islam masuk pada abad ke-16, prosesi ini disamakan dengan ritual sadran, tradisi berziarah dan membersihkan makam leluhur sebelum bulan puasa.

Menurut Sumitro, dalam berpuasa, anak putu Bonokeling menggunakan penanggalan Jawa versi Alif Rebo Wage (Aboge). Lain dari penentuan awal puasa pemerintah yang menggunakan dasar rukyat atau melihat hilal (bulan sabit).

Perhitungan metode ini, sudah dikenalkan sejak ratusan tahun lalu oleh leluhur setempat.

Saat ini ada enam orang bodogol (ketua adat) termasuk juru kunci di Desa Pekuncen. Jumlah tersebut tidak termasuk bedogol dari wilayah Desa Adiraja, dan Daunlumbung di Kabupaten Cilacap.

Dari wilayah Kabupaten Cilacap untuk tahun ini diikuti sebanyak 827 anak putu. Jika digabungkan dengan anak putu Desa Pekuncen, jumlahnya diperkirakan lebih dari 5.000 orang.

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More