Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 07 April 2022 | 12:05 WIB
Arsitektur langgar kuno milik keluarga besar Haji Abdul Khamid merupakan perpaduan gaya bangunan Jawa dan Belanda. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

SuaraJawaTengah.id - Syahdan dikenalah Haji Abdul Khamid sebagai tuan tanah kaya raya di desa Ngrajek, Magelang. Tanahnya membentang masyriqi wal maghribi (timur ke barat).

Konon Haji Abdul Khamid menguasai tanah puluhan bahkan mungkin ratusan hektare. Hingga saat Belanda masuk Indonesia, tanah itu dirampas hingga tinggal tersisa sebagian sahaja.   

“Simbah saya dulu katanya tuan tanah. Sawahnya dulu sampai...” kata Totok Isbanu tak mampu mengingat seberapa lebar tanah yang dikuasai kakeknya.

Belanda kemudian merampas sebagian besar kekayaan tuan tanah Haji Abdul Khamid. Termasuk tanah yang sekarang di atasnya berdiri Pasar Ikan Ngrajek. “Tanah simbah saya dulu terlalu luas. Akhirnya dibikin perikanan itu. Diminta pemerintah.”

Baca Juga: Tunggu Aturan Pusat, Kulon Progo Masih Batasi Kapasitas Tempat Ibadah 50 Persen

Bukti Abdul Khamid sebagai orang kaya bisa dilihat dari sandangan gelar haji di depan namanya. Pergi haji pada masa itu perlu keluar biaya besar.

Habis waktu berbulan-bulan menumpang kapal laut, dilanjut menunggang unta melintas padang pasir sebelum akhirnya bisa menginjakkan kaki di Mekkah.

Tidak ada data pasti kapan Abdul Khamid naik haji. Totok lahir jauh sekali setelah Haji Abdul Khamid berpulang. “Saya sudah nggak menangi (menjumpai) Simbah Abdul Khamid.”

Tapi patut diduga sepulang haji itu, Abdul Khamid mendirikan langgar di dekat kediamannya. Langgar didirikan -diperkirakan relatif- bersamaan dengan masa perluasan rumah Haji Abdul Khamid.

Di rumah yang saat ini ditempati Totok, di atas pelipit pintu menuju area jongkangan, terpahat angka 16-5-1925. Tanggal yang diyakini sebagai angka tahun berdirinya rumah.

Baca Juga: Kapolri Cek Ketersediaan Minyak Goreng Curah di Kabupaten Magelang, Ini Hasilnya

Bangunan Cagar Budaya

Arsitektur langgar kuno milik keluarga besar Haji Abdul Khamid merupakan perpaduan gaya bangunan Jawa dan Belanda. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

Pada Desember 2019, Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Magelang mengeluarkan rekomendasi menetapkan langgar tanpa nama itu sebagai bangunan cagar budaya.

Dalam naskah rekomendasi penetapan disebutkan, bahwa langgar kuno di Dusun Ngrajek ini berkaitan dengan rumah tipe kampung peninggalan Haji Abdul Khamid yang saat ini ditempati Totok.

Mereka meyakini masa pembangunan langgar tak berjauhan dengan tanggal berdirinya rumah.

“Rumah tipe kampung di sisi Timur mushollah  yang menjadi kesatuan dengan mushola. Di atas pelipit tertulis angka 16-5-1925 yang diperkirakan sebagai tanggal pendirian rumah tipe kampung dan mushollah tersebut.” 

Tidak banyak keterangan yang bisa digali soal sejarah keberadaan langgar kuno ini. Totok hanya dapat mengingat kenangan masa kecil menghabiskan waktu di langgar yang didirikan kakeknya. 

Terutama saat bulan puasa, langgar ini sibuk dengan berbagai kegiatan ibadah. Ramai anak-anak menginap di langgar sehabis tarawih hingga menjelang sahur.  

“Waktu saya kecil, anak-anak sering tidur disitu. Tapi kebanyakan pada takut. Ada yang nakut-nakutin katanya ada ular jengger. Tapi memang agak angker,” kata Totok mengingat masa kecilnya.

Setiap peringatan malam selikuran atau tanggal 21 Ramadhan, keluarga Totok menyajikan tonseng kepala kambing untuk dimakan bersama jamaah sesuai salat tarawih. 

Langgar kuno ini dibangun tingkat dua lantai. Langgar bagian bawah berlantai semen pelur yang dihaluskan, sedangkan bagian atasnya berlantai kayu jati.

Kedua bagian langgar dihubungkan tangga kayu di sisi utara bangunan. Teras depan dibatasi pagar kayu yang dilengkapi ukir-ukiran sederhana. Pagar kayu juga diaplikasikan sebagai pembatas pada teras lantai atas.

Toleransi di Langgar Kuno  

[Suara.com/Aldie Syaf Bhuana]

Arsitektur langgar merupakan akulturasi bangunan tipe kolonial dan Jawa. Gaya bangunan kolonial tampak pada pilar-pilar tembok berbentuk persegi yang menopang atap.   

Ciri khas bangunan corak Jawa terlihat pada rete-rete kayu berukir yang menggantung mengelilingi seluruh teras langgar. Rete-rete berfungsi sebagai “kulit” kedua yang menyamarkan konstruksi tembok pada bangunan.

Bentuk ruang pengimaman juga merupakan hasil perkawinan model interior Jawa-Belanda. Lengkungan tembok pada tempat masuk ke ruang pengimaman, mengingatkan pada gerbang-gerbang benteng Belanda.

Namun disini lengkungan dibuat rendah sehingga orang yang masuk harus membungkuk. Model pintu yang menyimbolkan penghormatan tamu terhadap tuan rumah ini sering kita jumpai pada rumah-rumah Jawa.

Gaya interior Jawa lainnya yang menonjol di ruang pengimanan adalah terdapatnya jendela kecil berbahan kayu yang terbuka menghadap kiblat. Selain berfungsi sebagai fentilasi, jendela ini bermakna terhubungnya shalat langsung dengan Ka’bah. 

Menurut Totok selain langgar milik keluarganya, di sekitar Dusun Ngrajek III terdapat 3 musala. Salah satunya juga berusia tua. Tapi hanya langgar ini yang terbilang kuno karena belum pernah dipugar dan masih mempertahankan keaslian bangunan.   

“Kalau yang lain kan itu tanah wakaf, jadi yang pakai orang banyak. Disini kalau mau renovasi memang dari pihak keluarga saja. Kalau yang lain-lain kan dari masyarakat,” ujar Totok.

Sayang sudah lama sekali azan tak lagi berkumandang di langgar kuno ini. Suara langkah kaki orang-orang tua menaiki tangga dan kecipak anak-anak bermain air di kolam wudhu lama tidak terdengar.

Sekitar 12 tahun belakangan langgar tidak pernah digunakan. “Imam mushola itu meninggal kecelakaan terus belum ada gantinya. Dulu imamnya anaknya Pak Muh, kaum yang rumahnya di seberang jalan.”

Totok berencana kembali menghidupkan langgar kuno warisan keluarganya. Dia rindu suasana langgar yang dipakai warga untuk sibuk beribadah. 

“Nanti kalau ada rejeki mau saya fungsikan yang bawah sekalian. Kasihan orang-orang tua kalau harus naik-turun tangga,” kata Totok.

Selain aspek fungsi tempat ibadah yang dibutuhkan warga sekitar, langgar kuno ini menjadi saksi sejarah berkembangnya Islam di Desa Ngrajek.

Keberadaan langgar di kawasan pusat peribadatan Hindu-Budha masa lampau, menunjukkan betapa toleransi hidup dan tumbuh di tengah hubungan sosial masyarakat Jawa. 

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More