Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Sabtu, 30 April 2022 | 20:10 WIB
Suyitno (depan) bersama tiga orang rekannya yang mudik menggunakan bajaj saat melintas di Jalingkut Brebes-Tegal, Sabtu (30/4/2022). [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - Berbagai sarana digunakan para perantau demi bisa mudik dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman. Salah satunya menggunakan bajaj.

Hal itu dilakukan Suyitno (46). Warga Kesesi, Kabupaten Pekalongan ini mudik dari Jakarta dengan mengendarai bajaj yang sehari-hari menjadi sarana untuk mencari nafkah di Ibu Kota.

"Sehari-hari kerja sopir bajaj, jadi ya mudik naik bajaj," tutur Suyitno saat ditemui di Jalan Lingkar Utara Tegal-Brebes, Sabtu (30/4/2022).

Suyitno pulang ke kampung halaman mengendarai bajaj bersama tiga orang rekannya yang berasal dari desa yang sama di Kabupaten Pekalongan. Ketiganya duduk berhimpitan di kursi penumpang.

Baca Juga: Menjelang Lebaran, Kemnaker Terima Ribuan Laporan Mengenai Pembayaran THR

Keempatnya berangkat dari Pondokpinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Sabtu pukul 03.00 WIB.

Sempat terkena macet di Cirebon selama sekitar satu jam, ‎mereka sampai di Brebes pukul 14.30 WIB.

"Tadi istirahat di Cikarang, Cirebon, terus Brebes. Ini baru jalan lagi," ujarnya.

Menurut Suyitno, dengan mudik bersama menaiki bajaj, ongkos perjalanan bisa ditekan. Jika menggunakan bus, ongkos yang dikeluarkan bisa mencapai Rp350 ribu per orang untuk tiket. Sementara jika menggunakan bajaj, biaya yang dikeluarkan Rp200 ribu untuk membeli BBM. 

"Naik bus mahal. Kalau pakai bajaj bisa lebih menghemat ongkos. Paling untuk beli bensin Rp200 ribu dibagi berempat," ungkapnya.

Suyitno bukan kali pertama mudik mengendarai bajaj. Sebelumnya dia mudik menggunakan bajaj pada 2017, 2018, dan 2019. 

Baca Juga: Lebaran Kian Dekat, Pembuatan Buras Mulai Digencarkan di Desa Todang-Todang

"Tahun 2020 naik bus. Kalau tahun kemarin nggak mudik karena kan dilarang, terus nggak ada uang buat ongkos," ucap pria yang sudah merantau di Jakarta sejak berusia 25 tahun ini.

Suyitno mengaku tak mengalami kendala selama perjalanan. Dia hanya perlu mengira-ngira dengan tepat kapan sisa BBM agar bisa segera diisi sebelum habis.

"Nggak ada sepedometernya, jadi pakainya hati dan perasaan untuk tahu bensinnya mau habis apa masih banyak.‎ Bisa tahu-tahu sudah habis. Ini juga bawa bensin cadangan di jeriken untuk antisipasi," ujarnya.

Salah satu rekan Suyitno yang duduk di kursi penumpang, Gatot (44) mengaku tak masalah harus duduk berimpitan dua orang lain dan barang-barang yang dibawa selama perjalanan mudik. 

"Dibuat nyaman saja, yang penting bisa mudik. Tapi ini lebih nyaman dari naik travel. Naik travel sempit. Ini sempit sih, tapi ada udaranya, angin masuk semilir, jadi enak," ujarnya.

Mudik ke Pekalongan, Gatot yang di Jakarta bekerja di sebuah salon‎ membawa oleh-oleh seekor ayam yang sudah dipelihara selama enam bulan.

"Kalau ditinggal mudik, takut tidak ada yang rawat jadi saya bawa pulang saja untuk oleh-oleh. Daripada di sana (Jakarta) tidak ada yang kasih makanan," ucapnya.

Kontributor : F Firdaus

Load More