Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Minggu, 31 Juli 2022 | 09:12 WIB
Sejumlah orang berkumpul di Tugu Suharto yang terletak di tengah aliran sungai yaitu Kali Kreo dan Kali Garang, Minggu (31/07/22). Tempat tersebut terletak di Ringin Telu Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, lokasi tersebut acapkali digunakan untuk prosesi berendam dan mencuci benda pusaka saat malam satu suro. [Suara.com/Aninda Putri Kartika]

SuaraJawaTengah.id - Aroma wangi kemenyan dan dupa bercampur-aduk di tengah kegelapan.

Di tengah situasi itu, beberapa orang berdiam diri di tengah pertemuan dua aliran sungai yaitu Kali Garang dan Kali Kreo.

Di lokasi itu juga berdiri sebuah tugu berusia puluhan tahun, yaitu Tugu Suharto. Tempat tersebut acapkali digunakan untuk prosesi berendam saat malam satu suro.

Lokasinya terletak di wilayah Ringin Telu Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.

Baca Juga: Arema FC Menang 2-1 Atas PSIS Semarang

Beberapa orang yang menjalankan prosesi berendam di sungai tersebut percaya, pertemuan dua aliran sungai tersebut punya khasiat tersendiri.

Bahkan sejumlah orang yang menjalankan prosesi malam satu suro di Tugu Suharto mengatakan, dengan berendam dipertemuan dua aliran sungai bisa membersihkan diri dan menenangkan hati.

Tak hanya itu, beberapa orang juga mencuci benda pusaka di sungai tersebut saat malam satu suro. Prosesi tersebut dilakukan saat tengah malam, dan berlangsung hingga menjelang subuh.

Aris Setyadi (55) satu di antaranya, ia datang dari Ungaran ke Tugu Suharto untuk berendam saat malam satu suro.

Dinginnya air sungai dan angin malam seolah tak dirasa oleh Aris, untuk menjalankan kepercayaannya.

Baca Juga: Hasil Pertandingan Pekan Kedua Liga 1: Persib Harus Mengakui Kehebatan Madura United, Arema FC Raih Poin Penuh Lawan PSIS

Sekitar dua jam ia berendam dan berdiam diri di tengah sungai tersebut. Usai melaksanakan prosesi tersebut Aris bergegas untuk mengambil benda pusaka yang ia bawa.

Sebuah keris berukuran tak terlalu panjang ia cuci menggunakan air dari sungai tersebut. Tak lupa Aris menakar kemenyan di tengah menjalankan prosesi mencuci keris pusaka yang ia bawa.

Setelah itu, ia kembali memasukkan benda pusaka ke tempat yang ia bawa. Aris juga menutupi keris tersebut menggunakan kain berwarna hitam.

Baju dan celana Aris nampak basah kuyup usai menjalankan prosesi malam satu suro. Ia pun bergegas untuk meninggalkan sungai untuk mengganti baju dan celananya.

Sebelum beranjak pergi, Arus sempat berbincang dengan SuaraJawaTengah.id. Aris menuturkan, prosesi tersebut selalu dilakukan setiap tahun sekali.

"Yang minta dijamasi atau dicuci benda pusaka saya ini, namun sebelumnya saya mensucikan diri dengan cara berendam," ucapnya, Minggu (31/07/22) dini hari.

Aris percaya malam satu suro adalah malam kramat, khususnya saat pergantian waktu dari malam ke pagi hari.

"Maka dari itu saya melaksanakan tengah malam, namun ada juga yang percaya berendam saat malam hari dan selesai tengah malam. Semua tergantung kepercayaan masing-masing," jelasnya.

Aris menjelaskan, prosesi tersebut hanya dilakukan saat malam satu suro, satu kali dalam satu tahun.

"Percaya atau tidak, memang pertemuan dua aliran sungai di sini punya khasiat tersendiri. Hal yang sama juga dilakukan nenek moyang saya, jadi saya hanya meneruskan saja," ucapnya sembari melenggang pergi.

Sementara itu, Supadi sesepuh sekitar Tugu Suharto menerangkan, prosesi malam satu suro sudah ada puluhan tahun silam.

Bahkan Supadi mengatakan, sejak ia kecil sudah banyak orang yang menjalankan prosesi tersebut di sugai tersebut.

"Yang ke sini dari beberapa daerah, tradisi ini juga sudah ada puluhan tahun silam. Di tahun 1965 juga sudah dilakukan," ucap pria berusia 62 tahun itu.

Dijelaskannya, hingga kini tradisi berendam di pertemuan aliran sungai tersebut masih terjaga dan terus dilakukan masyarakat.

"Memang ada dua versi kalau menurut leluhur saya, yang pertama pertemuan dua aliran sungai di sini hanya ada satu di Kota Semarang, dan beberapa mengatakan tempat tersebut bertuah. Versi lainnya, tempat tersebut menjadi lokasi bersejarah karena pernah menyelamatkan para pejuang termasuk Suharto saat pertempuran lima hari di Semarang," jelasnya.

Menyoal tugu Suharto sendiri, Supadi mengatakan, tugu tersebut sudah ada sejak 1965.

"Ketingginya mencapai 27 meter, adanya tugu tersebut sebagai penanda tempat itu pernah menyelamatkan nyawa Suharto saat bertempur melawan penjajah," imbuhnya.

Ia menambahkan, dua aliran sungai yang ada memiliki keistimewaan, satu aliran bersuhu dingin dan satuan hangat.

"Nah hal itu yang membuat banyak orang penasaran, namun memang benar adanya kalau suhu air dari dua aliran tersebut berbeda. Jika berendam di tengahnya akan merasakan percampuran dua suhu tersebut," tambahnya.

Kontributor : Aninda Putri Kartika

Load More