Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Minggu, 31 Juli 2022 | 12:38 WIB
Gus Mus berfoto bersama Bhikku Sri Pannavaro Mahathera disela pameran “Mata Air Bangsa. Persembahan untuk Gus Dur dan Buya Syafii Maarif” di OHD Museum, Kota Magelang, Sabtu (30/7/2022). [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Malam tadi, Sabtu (30/7/2022) di OHD Museum, Kota Magelang, puluhan orang datang ‘menziarahi’ ide kemanusiaan dua tokoh besar Indonesia: Abdurrahman Wahid-Buya Safii Maarif. Mentafsir pemikiran kedua tokoh lewat bahasa seni rupa.  

Keduanya sama-sama pernah memimpin organisasi keagamaan terbesar yang menjadi kiblat mayoritas muslim Indonesia. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Meski akar NU dan Muhammadiyah tumbuh dari sulur ilmu yang sama yaitu Syaikhana Cholil Bangkalan, sub kultur kedua organisasi ini -terutama di tingkat bawah- sering diidentikan dengan saling beda pendapat.

Perbedaan argumen kebanyakan terkait khilafiyah yang tidak prinsip. Pada banyak hal, jamaah sub kultur NU dan Muhammadiyah sering mengambil sikap saling ‘memunggungi’.

Baca Juga: Pameran MANIFESTO VIII Hadirkan 108 Karya Perupa Indonesia

Perbedaan tafsir soal penentuan jatuh hari raya Idul Fitri, tahlil, dan yasinan,  kerap meruncing menjadi selisih saling hujat yang tak bermutu. Keributan terutama banyak terjadi di media sosial yang ‘jamaahnya’ terkenal gaduh dan berisik.

Kontestasi politik Pemilu Presiden 2014 dan 2019 juga turut membelah jemaah sub kultur NU dan Muhammadiyah. Residu polarisasi politik lewat label “cebong” dan “kampret” masih terasa hingga hari ini.

Lukisan yang Menggagas Pameran

Dari sini pameran bermula. Pada penghujung tahun 2020, pelukis G. Djoko Susilo mengirimkan foto karyanya kepada pemilik Museum OHD, dr Oei Hong Djien.

Di atas kanvas berukuran 127x147 centimeter, Djoko Susilo melukis wajah Buya Safii Maarif bersama Kiyai Mustafa Bisri (Gus Mus). Lukisan itu diberinya judul: Buya A. Syafii Maarif & Gus Mus.  

Baca Juga: Bulog Jamin Daging Kerbau Beku Impor Asal India Bebas PMK

Selain kepada dr Oei Hong Djien, Djoko Susilo juga mengirimkan foto lukisannya kepada Gus Mus. Lewat Dr Ahmad Alim Muttaqin, foto lukisan itu tiba ke tangan Buya Safii Maarif.

“Bagi saya pesannya sangat jelas: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah harus berpikir besar, saling membantu dan saling bebagi. Pada lukian itu Gus Mus dan saya sama-sama dengan kepala terbuka. Keduanya pakai kacamata,” tulis Buya Safii yang artikelnya (dimuat harian Kompas, 5 Januari 2021).

Buya lalu mencari nomer telepon Djoko Susilo. Dia menghubungi pelukis yang belum pernah dikenalnya itu. Lewat sabungan telepon, Djoko menawarkan membuat lukisan ulang khusus untuk Buya Safii.

Lukisan itu menurut Buya Safii melampaui zaman yang memungkinkan munculnya corak baru tafsir Islam Indonesia pasca NU-Muhammadiyah. Corak Islam yang tidak tercemar oleh silang sengketa mazhab, sejarah, dan kepentingan politik.   

“NU dan Muhammadiyah mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan-tangan perusak, termasuk dari mereka yang memakai bendera agama.”

Buya Syafii Maarif dan Gus Mus kemudian setuju untuk menjabarkan lukisan itu dalam suatu pameran seni rupa. Sebanyak 32 seniman lintas agama dan kepercayaan ikut berpartisipasi.

Lewat serangkaian pertemuan, tanggal 2 Juli 2022 ditetapkan sebagai tanggal digelarnya pameran. Tapi takdir berkata lain. Tanggal 27 Mei 2022, lima minggu sebelum pameran, Buya Safii Maarif meninggal dunia.  

Beberapa seniman mengubah karya atau menggubah lukisan baru untuk mengenang Buya Safii. Jadwal pameran kembali diundur ke tanggal 30 Juli 2022.

Gus Mus mengusulkan kepada Djoko Susilo untuk membuat lukisan baru, Gus Dur bertemu dengan Buya Safii Maarif. Lahirlah lukisan bertajuk “Buya Ahmad Syafii Maarif & Gus Dur (Guru Bangsa yang paling berani dan konsisten menjaga NKRI dan Kebhineka Tunggal Ikaan)”.

Mata Air Bangsa

eni Wahid berfoto di depan lukisan Gus Dur dan Buya Syafii Maarif karya G. Djoko Susilo. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Lukisan yang dipajang pada pintu masuk ruang pameran itu, menggambarkan Gus Dur dan Buya Safii saling berpelukan dengan bendera Merah Putih di tengah mereka.

Lukisan Gus Dur yang tangannya merangkul pundak Buya Syafii, menunjukkan ekspresi rindu mendalam setelah lama sekian lama tidak bertemu sahabatnya itu.

“Polarisasi semakin menguat di dunia. Bukan hanya di Indonesia. Kita perlu lebih banyak lagi tokoh-tokoh publik yang menyuarakan agar keutuhan bangsa itu lebih terjaga,” kata Yeni Wahid, putri kedua Gus Dur disela pembukaan pameran “Mata Air Bangsa. Persembahan untuk Gus Dur dan Buya Syafii Maarif”.

Menurut Yeni, selama hidup Abdurrahman Wahid dan Buya Safii Maarif berjuang menjaga keutuhan bangsa. Keduanya memangku nilai-nilai kebebasan dan perdamaian.

“Ini adalah upaya untuk terus menghidupkan nilai-nilai yang dulu diusung oleh kedua beliau tersebut,” kata Yeni yang memiliki nama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid.

Pamitnya dua guru bangsa ini meninggalkan ruang toleransi yang melompong. Hari-hari mendatang -terlebih mendekati Pemilu 2024- kamar media sosial bakal gaduh oleh ujaran kebencian dan akrobat politik yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.

Algoritma media sosial menurut Yeni Wahid membuat masyarakat terbelah. Masyarakat dikondisikan untuk melihat masalah secara hitam-putih.

Disisi lain masyarakat tidak memiliki cukup stamina untuk sabar membaca pesan. Masyarakat memahami masalah hanya dari membaca judul. Pemahaman mereka dangkal dan mudah disesatkan.

Gus Dur dan Buya Syafii yang merepresentasikan NU-Muhammadiyah punya peran mengkonsolidasikan kalangan umat untuk meminimalkan kerusakan itu.  

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU-Muhammadiyah punya kewajiban menjaga umat tetap berpikir waras. Membangun kontra narasi menghadang praktik politik yang merusak tatanan sosial.

“Kami berterima kasih atas keinginan dan tindakan para seniman untuk terus mengusung nilai-nilai kebebasan, perdamaian. Semua nilai yang selama ini diusung oleh Abdurahman Wahid dan Buya Safii Maarif,” kata Yeni Wahid.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More