Budi Arista Romadhoni
Kamis, 06 April 2023 | 19:04 WIB
Kegiatan menenun sarung goyor di pabrik sarung cap Botol Terbang di Potrobangsan, Kota Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

“Kita punya toko di sana. Mereka pesan dulu, kalau barang sudah ada baru kita kabari. Nanti transfer (uang) dan dikirim kesana. Kalau minta mendadak kami tidak bisa. Tergantung kemampuan produksi di sini.”

Masih Bergantung Benang Impor

Omong-omong soal kemandirian usaha seperti yang digelorakan Bung Karno di tahun 1960an, praktiknya usaha kain tenun seperti Botol Terbang juga belum bisa 100 persen merdeka.

Hingga hari ini, Botol Terbang masih bergantung suplai benang katun kasar dari Cina, Jepang, dan India. Benang-benang itu dibeli lewat perantara sejumlah pedagang besar di Solo, Pekalongan dan Tegal.

“Benangnya bukan dari Indonesia. Impor dari Jepang, Cina, India. Kita tinggal cari mana yang ada.”

Cerita kesempatan Ramadhan dimana biasanya aneka usaha injak gas mentok produksi, tidak berlaku untuk usaha sarung goyor cap Botol Terbang.   

Selama bulan Ramadhan tahun ini, pabrik Botol Terbang diperkirakan hanya mampu memproduksi 40 lembar sarung goyor.

Jumlah sarung yang dihasilkan bergantung dari kemampuan tenaga para pekerja.   

“Dapat 40 sarung saja cukup sulit ya. Karena kemampuan manusia dengan mesin listrik kan nggak sama. Jadi target produksi itu nggak bisa. Misal ada gangguan benang kan produksi berhenti.”

Baca Juga: Korban Ledakan Bahan Petasan di Magelang Tewas Mengenaskan, Kedua Kakinya Lepas dari Badan dan Masih Dicari

Berbeda kutub bisnis dengan usaha lainnya, Sumadiyo optimistis sarung goyor cap Botol Terbang tetap akan dicari di pasaran. Kualitas menjadi pembeda produk Botol Terbang dengan sarung merek lainnya.  

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More