Dikenal di Cina pada abad 9, petasan diangkut menyebrang ke Nusantara sekitar abad 15. Rombongan dagang negeri Tiongkok membawa petasan bersama barang dan bahan makanan yang semula asing bagi para pribumi.
Petasan kemudian diadopsi oleh orang lokal, sama seperti lidah mereka yang belajar akrab mencicip aneka mie, serta memakai teko dan sendok bebek sebagai perkakas makan.
Menurut Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang, Danu Wiratmoko, pembuatan mercon di Cina masa itu tidak hanya untuk kebutuhan perayaan tradisi.
Para pedagang dan pendatang dari Cina juga mengenalkan teknik meracik mercon untuk kebutuhan membuat bahan peledak.
“Masyarakat Indonesia juga memakai mercon untuk dibuat dinamit melawan penjajah. Ada beberapa catatan di jaman Majapahit (mercon) itu sudah ada,” kata Danu.
Sebagai tradisi, petasan berkembang menjadi sarana mengekspresikan diri. Biasanya berkaitan dengan cara masyarakat meluapkan rasa senang, gembira, atau kemenangan.
Tidak aneh jika kemudian tradisi petasan lekat dengan perayaan Lebaran. “Utamanya saat (perkembangan) Islam mulai kuat di Nusantara.”
Petasan dan Candu Adrenalin
Bagi penderita fonopobia (sindrom takut terhadap suara keras), ledakan petasan bisa menimbulkan dampak yang parah. Penderita didera ketakutan, kepanikan, dan kecemasan ekstrem.
Tapi bagi penggemar petasan, suara ledakan yang memekakkan telinga justru menimbulkan sensasi kegembiraan bak candu.
Secara alamiah manusia mengalami banjir hormon adrenalin usai terkejut mendengar suara ledakan. Reaksi spontannya, otak mengirim sinyal bahaya yang meningkatkan kewaspadaan tubuh atau lari menjauh sumber bunyi.
Saat letusan adrenalin di otak mereda, syaraf mengirim sinyal relaksasi ke seluruh bagian tubuh. Efeknya, muncul rasa puas dan kegembiraan.
“Tradisi orang Jawa itu marem kalau krungu (dengar) suara keras. Memang sudah dari sananya begitu. Bisa dilihat saat orang hajatan. Kenapa kita pasang speaker keras-keras,” ujar Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Abet Nugroho.
Karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun, tradisi menyulut petasan saat Lebaran tidak mudah begitu saja dihilangkan. Butuh proses panjang mengenalkan alternatif bunyian lain pengganti suara petasan.
Abet menawarkan bedug dan kentongan menjadi sumber suara keras pengganti petasan.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota