Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 22 November 2023 | 08:53 WIB
Gambaran Ki Ageng Pemanahan [YouTube: Embara Lensa]

SuaraJawaTengah.id - Perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Mataram sempat mencuat menjadi bahan perbincangan publik usai Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada April tahun 2015 lalu.

Dalam Sabda Raja tersebut ditegaskan bahwa perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring yang menjadi dasar pemerintahan Mataram Islam telah berakhir. Lantas, apa sebenarnya isi perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring tersebut?

Ini Kisah Terjadinya Perjanjian Mataram

Mataram Islam berawal dari tanah perdikan yang diberikan Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1556. Pemberian tersebut didasarkan atas jasa Ki Ageng Pemanahan dan putranya Danang Sutawijaya serta Ki Penjawi dalam menumpas Arya Penangsang pada 1549.

Baca Juga: 10 Daerah di Jawa Tengah Ini Warganya Paling Panjang Umur, Ternyata Sukoharjo Urutan Pertama

Ki Penjawi mendapat tanah di daerah Pati, sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapatkan wilayah di daerah Mataram, yang saat itu masih berupa Alas Mentaok. Karena itu, Ki Ageng Pemanahan bersama putra, sahabat, dan pengikutnya membabat alas dan mendirikan kadipaten yang saat ini adalah Kotagede.

Ki Ageng Pemanahan pun memerintah wilayah tersebut dengan nama Ki Gede Mataram. Namun, sebelumnya, di wilayah Mataram sebenarnya sudah ada tokoh sekaligus sahabat Ki Ageng Pemanahan, yakni Ki Ageng Giring. Sahabatnya itu tinggal di daerah Gunungkidul.

Di samping pekerjaannya di ladang, Ki Ageng Giring dikenal sebagai orang yang suka bertapa dan tinggi ilmu. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, suatu hari Ki Ageng Giring mendengar suara dari pohon kelapa yang tidak pernah berbuah. Namun, saat itu pohon tersebut memiliki satu buah kelapa muda.

“Wahai Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang meminum air degan ini hingga habis seketika, kelak anak keturunannya akan menjadi raja penguasa tanah Jawa,” ujar pohon kelapa itu.

Sontak saja, Ki Ageng Giring menaiki pohon dan mengambil buah kelapa muda itu. Ia mengupasnya dan meletakkannya di rumah. Namun, karena belum haus, Ki Ageng Giring pergi ke hutan terlebih dahulu dan berniat meminumnya di siang hari hingga habis.

Baca Juga: Pantau Netralitas ASN, Pj Gubernur Jateng Tugaskan Tim Khusus Jelang Musim Kampanye Pemilu 2024

Ia berpesan kepada istrinya agar tidak seorang pun meminum air kelapa muda tersebut. Namun, pada saat Ki Ageng Giring pergi ke hutan, Ki Ageng Pemanahan datang dalam kondisi kehausan. Lantaran sudah seperti saudara, Ki Ageng Pemanahan yang memasuki dapur langsung meminum kelapa muda tersebut hingga habis.

Isi Perjanjian Mataram

Dari situlah kemudian Ki Ageng Giring memberikan pesan dari pohon kelapa tersebut pada Ki Ageng Pemanahan. Karena itu, Ki Ageng Giring mengajukan permintaan kepada ki Ageng Pemanahan, agar yang menjadi raja di Jawa nanti bergantian dari keturunan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring.

Namun, hal itu tidak diindahkan oleh Ki Ageng Pemanahan. Tawaran tersebut kemudian berganti menjadi permintaan Ki Ageng Giring untuk menjadikan keturunannya sebagai raja ketujuh, akan tetapi masih belum diindahkan.

Kemudian Ki Ageng Giring kembali menawarkan keturunannya menjadi raja kedelapan. Atas tawaran tersebut, Ki Ageng Pemanahan hanya menjawab dengan penyerahan.

“Adi Giring, Wallahualam, terserah kelak, kita semua tidak tahu,” ujar Ki Ageng Pemanahan.

Inilah yang disebut perjanjian Mataram tersebut. Seiring berjalannya waktu, raja kedelapan Kerajaan Mataram ternyata memang memiliki garis keturunan dari Ki Ageng Giring, yakni Pangeran Puger yang mendapat gelar Pakubuwono I. 

Kontributor : Dinnatul Lailiyah

Load More