Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 11 Mei 2024 | 21:22 WIB
Salah seorang warga Semarang sedang melintas di trotoar dekat kampus Udinus. Sabtu (11/5/24) [Suara.com/Ikhsan]

SuaraJawaTengah.id - Selama kurang lebih tujuh tahun hidup di Semarang. Saya tau persis perkembangan ibu kota Jawa Tengah tersebut dari segi fisik maupun kebiasaan orang-orang di dalamnya.

Jika dibandingkan dengan kota lainnya seperti Jakarta. Semarang jelas kalah jauh soal transportasi dan intrastruktur untuk menyokong orang-orang giat berjalan kaki. Warga Semarang sangat bergantung dengan kendaraan pribadi.

Secara geografis Kota Semarang terbagi menjadi dua wilayah yakni Semarang atas dan bawah. Sehingga saya jamin kota ini begitu merepotkan bagi orang yang tidak memiliki kendaraan pribadi.

Salah satu sumber utama yang mungkin sering dikeluhkan pejalan kaki minimnya transportasi umum yang mudah di akses. Saya benar-benar iri dengan layanan transportasi umum di Jakarta seperti TransJakarta, JakLingko, KRL, MRT, dan lain-lainnya yang saling terhubung menjangkau sisi Jakarta.

Baca Juga: Ambil Formulir Pilkada Semarang di PDIP, Ade Bhakti Incar Kursi Wakil Wali Kota

Sedangkan di Kota Lunpia, transportasi publik yang jadi andalan hanya Trans Semarang atau sering dipanggil dengan BRT. Itu masih ada kekurangannya. Jumlah armada dan rute yang terbatas bikin orang-orang yang tidak punya kendaraan pribadi kesulitan mencapai tujuan mereka dengan mudah.

Minimnya transportasi umum itu diamini oleh Safira Fitri. Perempuan yang bekerja di bidang industri kreatif ini hampir setiap pagi berdesak-desakkan dengan siswa sekolah bahkan ia harus menunggu lebih lama lantaran bus BRT yang jadi andalan sering overload.

Tak hanya itu, Safira juga harus berjalan kaki ratusan meter lantaran bus BRT yang ditumpangi tidak mengjangkau kantor tempat dia bekerja. Di matanya Kota Semarang belum memperhatikan akses pejalan kaki yang layak bagi pekerja yang tidak memiliki kendaraan pribadi.

"Di beberapa pusat kota mungkin kurang ya. Hanya di Pecinan, Kota Lama, Muggasari yang friendly untuk pejalan kaki," ucap perempuan asal Blora tersebut.

Menurut Safira, sebagai ibu kota Jawa Tengah. Semarang harusnya lebih banyak menambah transportasi umum dan memperbaiki infrastruktur lainnya seperti trotoar.

Baca Juga: Duh! Ade Bhakti dapat Sentimen Negatif Gegara Mau Daftar Pilkada Semarang ke PDIP

"Seharusnya Semarang bisa jadi cerminan untuk daerah-daerah di Jawa Tengah yang ramah terhadap pejalan kaki," imbuhnya.

BRT di Jalan Imam Bonjol Semarang [Suara.com/Dafi Yusuf]

Dimanjakan Kendaraan Pribadi

Founder Komunitas Peduli Transportasi Kota Semarang (KPTS), Theresia Tarigan, mengatakan meski sudah menjadi kota metropolitan. Kota Semarang memang belum ramah terhadap pejalan kaki. Malah ada beberapa daerah yang belum di bangun trotoar jalan.

"Jalan Banyumanik, Jalan Karangrejo, Jalan Sukun, Jalan Cemara dan lain-lainnya tidak ada trotoar," ujar perempuan yang akrab disapa There tersebut.

There lantas menjelaskan alasan warga Semarang tidak suka jalan kaki. Salah satunya kebijakkan pemerintah yang mempermudah masyarakat membeli kendaraan motor atau mobil. Lalu tidak ada larangan tegas siswa-siswi sekolah membawa kendaraan walaupun belum mempunyai SIM.

Jika dua permasalah diatas belum bisa dibereskan oleh pemerintah. Maka warga Kota Semarang selamanya akan sulit mengubah kebiasaan tersebut.

"Trotoar jalan malah banyak di bangun mulai tahun 2016. Tapi sampai sekarang belum ditambah lagi," bebernya.

Hal sederhana untuk membangun kota yang ramah terhadap pejalan kaki adalah membangun akses transportasi umum yang saling terhubung antar daerah dan paling utama yang tak kalah penting membatasi penjualan kendaraan roda dua maupun roda empat.

"Mau edukasi seperti apa nggak bakal mempan. Harus distop kemudahan punya kendaraan pribadi seperti di Singapura yang menerapkan kebijakan pajak mahal, tempat parkir terbatas serta nggak ajaib dapat SIM," jelasnya.

Dia juga menyoroti armada bus BRT yang belum mengakomodir masyarakat. Bahkan menurutnya jumlah penumpang yang menggunakan bus BRT kurang dari 5 persen penduduk Kota Semarang'

Jadi ketika jam-jam sibuk seperti di pagi hari. Siswa sekolah sampai pekerja saling berdesakkan. Karena nggak tahan dengan kondisi seperti itu warga pun nggak sedikit yang beralih menggunakan kendaraan pribadi.

Jika pembangunan infrastruktur seperti trotoar belum bisa diperbanyak. There berharap pemerintah mengevaluasi secara total bus BRT. Menurutnya, belum banyak masyarakat yang bisa mengakses kemudahan transportasi umum tersebut.

"Feeder nggak efektif. Terlalu banyak tripnya untuk satu rute padahal kosong. Feeder yang diperlukan malah nggak ditambah," bebernya.

"Mestinya rute, jadwal, armada bus BRT dievaluasi. Jam operasional juga, masa nggak ada yang sampai pukuk 21:00 WIB," tutupnya.

Kontributor : Ikhsan

Load More