Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 31 Juli 2024 | 16:04 WIB
Ilustrasi beras murah. Perubahan iklim ancam ketahanan pangan. [Ist]

SuaraJawaTengah.id - Faktor cuaca menjadi ancaman krisis pangan di Indonesia, dan bahkan di seluruh belahan dunia. Hal itu tentu membutuhkan solusi bagi para ahli. 

Peneliti bidang pertanian dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri membahas masalah ketahanan pangan dalam kegiatan "4th International Conference on Sustainable Agriculture for Rural Development (ICSARD) 2024" di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

"Hari ini ada seminar internasional ICSARD yang keempat. Seminar internasional ini merupakan agenda rutin setiap dua tahun sekali," kata Dekan Fakultas Pertanian Unsoed Prof Sakhidin dikutip dari ANTARA pada sela kegiatan yang digelar di Gedung Integrated Academic Building (IAB) Unsoed, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (31/7/2024). 

Ia mengatakan inti seminar yang mengusung tema "Strategy and Innovation of Agricultural Sector to Enhance Food Security" tersebut berfokus pada perdesaan dalam kaitannya dengan pengolahan pertanian terutama mengenai bagaimana mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian.

Baca Juga: Pranoto Mongso, Kalender Petani yang Diyakini Masih Relevan Menjawab Perubahan Musim

Dengan demikian, kata dia, ada kesinambungan untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.

"Mudah-mudahan kegiatan ini akan memberikan kontribusi yang besar terkait dengan berbagai macam kajian dari berbagai bidang ilmu. Intinya adalah bagaimana cara untuk senantiasa meningkatkan produksi pangan, sehingga bisa tercapai swasembada pangan," katanya.

Ia mengakui untuk mencapai swasembada pangan dan keamanan pangan tersebut biasanya banyak faktor yang menentukan karena paling tidak berkaitan dengan penambahan jumlah penduduk yang tidak bisa disetop, namun bisa dikendalikan.

Jika jumlah penduduknya terus meningkat, kata dia, hal itu berimplikasi pada jumlah kebutuhan yang harus dicukupi, sehingga produksi pangan harus ditingkatkan baik dalam jumlah maupun kualitasnya.

"Mulai dari penanaman, pemeliharaan tanaman, sampai panen, dan juga pascapanen. Nah, pascapanen meliputi kegiatan-kegiatan mengolah hasil panen, kemudian disimpan atau dipasarkan sampai ke konsumen," katanya.

Baca Juga: Gawat! BI Prediksi Perubahan Iklim akan Berdampak Kerugian pada Produk Domestik Bruto Sebesar 40 Persen

Terkait dengan ancaman perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, Sakhidin mengakui hal itu merupakan salah satu masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia dan harus dicari solusi mengenai pengaruh dari perubahan iklim.

"Memang untuk pertanian karena kita mengelola tanaman, suatu makhluk hidup ini 'kan sangat rentan terhadap kondisi lingkungan. Nah, bagaimana kita menyikapi perubahan iklim, paling tidak kita bisa mengantisipasi," katanya.

Ia pun mencontohkan ketika akan menghadapi kekeringan harus dipersiapkan mengenai kapan akan memulai tanam dan memperkirakan kapan masa panen agar tidak terlalu terganggu oleh kondisi iklim yang kurang baik.

Selain itu, kata dia, petani bisa menggunakan varietas tanaman yang toleran terhadap kondisi iklim yang kurang menguntungkan.

Sementara itu, Ketua Panitia "4th ICSARD 2024" Prof Suprayogi mengatakan seminar tersebut menjadi ajang berbagi hasil penelitian-penelitian yang telah dihasilkan.

"Harapannya dengan saling mengetahui apa yang dihasilkan oleh peneliti lain, kemudian ada kolaborasi dan improvement (perbaikan, red.) yang tentunya ujungnya adalah teknologi dan inovasi yang bisa bermanfaat untuk kaitannya dengan negara kita," katanya.

Ia mengatakan permasalahan yang dihadapi Indonesia salah satunya berupa fenomena La Nina pada tahun 2023 yang melemahkan ketahanan pangan karena beberapa negara membatasi ekspor beras, bahkan ada yang menghentikannya.

Oleh karena itu, kata dia, solusi terbaik untuk menjaga ketahanan pangan adalah memproduksi sendiri.

"Melalui forum para peneliti di bidang pertanian ini diharapkan kita bisa menyusun kebijakan-kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan, yang bisa kita sumbangsihkan kepada pemerintah," katanya.

Menurut dia, para peneliti yang mengikuti seminar tersebut berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia termasuk dari Kementerian Pertanian serta beberapa peneliti dari luar negeri seperti Bangladesh, India, Srilanka, Jepang, Jerman, dan Sudan.

"Kurang lebih ada sembilan negara termasuk Indonesia," kata Suprayogi.

Load More