Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 09 September 2022 | 09:25 WIB
Ritual wiwitan di Balkondes Karangrejo, Desa Karangrejo, Borobudur, Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

SuaraJawaTengah.id - Para ahli mencari jawaban mengapa hujan masih turun di musim yang seharusnya kemarau. Kemarau basah: Istilah yang sebelumnya asing bagi kita.   

Kemarau basah adalah sebutan untuk menjelaskan fenomena alam tingginya curah hujan di musim kering. Intensitas hujan naik 40-100 dibandingkan musim kemarau biasa.  

Musim kering yang masih disertai curah hujan tinggi, dapat memicu bencana hidrometeorologi. Akibatnya bencana alam dan gagal panen terjadi.

Kemarau basah sering dikaitkan dengan anomali iklim. Perubahan cuaca yang tidak biasa.

Baca Juga: Terus Meningkat, Luas Tanam Kebun Sawit Swadaya di Kalbar Capai 534.767 Hektare

Berdasarkan data prakiraan cuaca di Jawa Tengah, 8 September 2022, hujan intensitas sedang hingga lebat diprediksi terjadi di Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, dan Magelang.  

Kelembaban udara tinggi berkisar 80-95 juga terjadi di Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Bumiayu, Majenang, dan Ambarawa. Kelembaban memicu perubahan tekanan udara yang menyebabkan angin kencang.   

Hujan deras di musim yang seharusnya kemarau sesungguhnya bagian dari siklus cuaca yang berulang. Artinya perubahan alam ini bisa diperkirakan kapan terjadi untuk kemudian diantisipasi.

Persoalan jika kemudian siklus alam ini memicu bencana adalah karena manusia tidak siap melakukan pencegahan. Hujan tinggi memicu banjir karena hutan di lereng gunung digunduli.

Kemarau panjang menyebabkan kekeringan karena lahan-lahan terbuka yang seharusnya menjadi kawasan penangkap air, beralih fungsi menjadi perumahan atau kawasan industri.

Baca Juga: Sulap Lahan Kosong Jadi Kebun Pepaya California, Petani Bali Bisa Hasilkan 1 Ton Per Hari

Banjir rob di Semarang dan pesisir utara Jawa Tengah, juga terjadi bukan semata-mata karena perubahan cuaca. Ada salah urus kawasan pesisir yang menyebabkan daratan digenangi air.  

Eksploitasi air tanah menjadi penyebab utama banjir rob. Konsumsi air yang rakus oleh pabrik-pabrik di pesisir menyebabkan penurunan muka tanah.

Tapi memang lebih mudah menyalahkan alam sebagai penyebab terjadinya bencana, ketimbang mencari akar masalah sesungguhnya.

Ahli Membaca Musim

Perkenalkan Mbah Juni. Sesepuh Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang yang memiliki keahlian membaca perubahan musim.

"Masih seringnya hujan sekarang karena memang ini kemarau basah. Menurut ilmu di (serat) Gatoloco, ada namanya tahun sewindu. Ada 8 tahun sekali mengalami musim itu," kata Mbah Juni (65 tahun).

Sama seperti tahun 2021, tahun ini musim murah hujan. Dia mencontohkan beberapa desa di Borobudur yang biasanya kekeringan di musim kemarau, tahun ini tidak bergantung pada droping air.

"Sekarang windunya Sengoro. Kalau di tahun Je biasanya curah hujan tinggi. Otomatis selama siklus satu tahun itu banyak hujan. Tahun 2020 itu tahun Wawu. Larang hujan (susah hujan)."

Dalam penghitungan kalender Jawa, satu windu terdapat 8 tahun yang masing-masing memiliki nama sendiri: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.

Siklus alam akan terulang 8 tahun sekali sesuai urut-urutan tahun tersebut. Tahun 2021 yang memiliki nama tahun Ehe misalnya, juga mengalami musim yang murah air.

Mbah Juni membaca perubahan musim menggunakan ilmu “ramalan” yang ditulis dalam serat Jawa kuno, Gatholoco. Serat sastra Gatholoco umum dibaca oleh masyarakat sekitaran Kedu dalam bentuk kesenian suluk.

Menurut Mbah Juni, Gatholoco seperti primbon. Berisi catatan ramalan yang bercerita tentang kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

Selain siklus hidup manusia, Gatholoco juga memuat siklus perubahan alam. Pengetahuan soal pergantian musim didapat masyarakat Jawa kuno dari niteni (mengamati) gejala perubahan alam.  

"Perubahan musim dalam serat Gatholoco itu sesuai pergeseran matahari. Misal bayangan waktu ashar itu berapa panjangnya. Ditulis dalam huruf Arab pegon. Tapi sekarang ditulis ulang dalam huruf latin agar mudah dipahami," kata Ahmad Solikan, pemuda Desa Giritengah yang mewarisi ilmu meramal musim menggunakan serat Gatholoco.

Mongso Perubahan Musim

Melalui serta Gatholoco, warga Desa Giritengah mengenali 12 periode mongso (musim). Tiap-tiap musim menandai perubahan cuaca yang kemudian dijadikan patokan waktu mengolah lahan.

Satu tahun penanggalan Jawa memiliki 12 mongso, sama seperti jumlah bulan pada kalender masehi. Bedanya, jumlah hari pada tiap mongso ada yang 23 hari, 24 hari, 25 hari, dan 41 hari.   

Mongso atau bulan pertama jatuh pada 22 Juni. Mereka menyebut bulan pertama ini sebagai mongso koso. Bulan kedua disebut mongso karo yang dimulai pada 2 Agustus.

"Setelah itu mongso ketelu tanggal 25 Agustus. Tanggal 18 September itu mongso kapat. Lalu 13 Oktober yang bertepatan dengan tanggal 1 mongso kelimo. Tanggal 9 November itu tanggal 1 kanem. Tanggal 22 Desember itu tanggal kepitu."

Kemudian tanggal 3 Februari yang bertepatan dengan tanggal 1 mongso kewolu. Tanggal 1 Maret itu tanggal 1 mongso kesongo. Serta tanggal 26 Maret yang menandai dimulainya hari pertama mongso kesepuluh.

Selanjutnya tanggal 19 April yang berarti telah memasuki mongso kesewelas, dan tanggal 12 Mei yang bertepatan dengan tanggal pertama mongso kedusto atau bulan ke 12.

"Saya belajar ini dari kesenian Gatholoco. Seni Gatholoco itu yang mengajarkan dulu ayah saya. Pak Karyodimejo," ujar Mbah Juni.  

Hingga saat ini, warga Desa Giritengah memegang teguh keyakinan menggunakan pranoto mongso sebagai patokan waktu menggarap ladang.

Mereka yakin jika mengolah ladang tidak sesuai pranoto mongso, hasil panen akan menemui kegagalan.

"Masa tandur padi biasanya mongso kenem (bulan ke 6). Palawija juga mongso kenem, bisa mongso kesongo. Tembakau mongso koso, tapi masih di bulan Juni," ujar Ahmad Solikan.

Tidak aneh jika tanaman tembakau di sekitaran Giritengah saat ini rata-rata belum dipetik. Berbeda dengan tembakau Temanggung yang sebagian besar sudah mulai dirajang.

"Tanam padi misalnya. Kalau tidak sesuai mongso, sini baru mratak (bulir padi keluar dari batang) padahal yang lain sudah panen. Nanti padinya pasti gabuk (bulir padi kosong)."

Waktu yang tepat untuk menanam padi pada mongso kenam (bulan ke 6). Padi harus sudah selesai ditandur tidak melebihi mongso kepitu atau bulan ke 7.  

"Kita mempelajari alam, mongso kepitu itu hujannya sudah besar. Tanah kalau dicangkul pasti susah. Jemek (lembek). Kalau kita tanam pasti akarnya nggak bisa menjalar luas."

Jika cabai ditandur pada awal mongso kepitu, batang tanamannya akan kerdil. Otomatis hasil panen tidak maksimal karena cabai baru tumbuh normal setelah melewati mongso kepitu.

Ilustrasi petani padi membawa benih.[Pixabay]

Ilmu Titen yang Masih Relevan

Sayang ilmu pranoto mongso tidak lagi banyak dipakai para petani. Selain dianggap kuno dan tidak logis, para petani sering didesak kebutuhan ekonomi sehingga menanam hasil bumi di luar mongso tanam.  

Beruntung petani Desa Giritengah masih merawat tradisi pranoto mongso melalui seni tutur, syair serat Gatholoco. "Saya selalu saya ajarkan lewat kesenian. Ada syair dan nyanyiannya. Tariannya juga ada," kata Mbah Juni.  

Mbah Juni menolak tudingan bahwa ilmu membaca alam menggunakan serat Gatholoco adalah ilmu ramal. Pengetahuan ini logis karena didapat dari pengalaman para leluhur dalam membaca perubahan musim.

Menurut Mbah Juni, ilmu pranoto mongso terbukti akurat memperkirakan terjadinya gejala alam. "Dibilang betul ya betul. Tapi yang utama percaya sama Tuhan. Dalam hati mantap. Tapi bisa dibuktikan, kalau nanam cabai sekarang hasilnya pasti bule, kriting."

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid menyebut pengalaman dan pengetahuan budaya masyarakat lokal penting untuk disirkulasikan. Tradisi adat bisa menjadi metode alternatif menjelaskan kondisi alam hari ini.

"Pengalaman ini tentu sangat penting untuk mulai disirkulasikan. Kebudayaan dan ekosistem yang berbeda-beda punya satu komitmen untuk memastikan bumi kita lestari," kata Hilmar Farid.

Keragaman budaya tersebut yang hendak didokumentasi dan disatukan dalam "Pekan Konsolidasi Tenaga Budaya 2022" di kawasan Candi Borobudur. Masyarakat budaya dari penjuru Nusantara dihadirkan untuk bertutur tentang kearifan lokal masing-masing. Mbah Juni salah satu yang diundang untuk menceritakan pengalamannya membaca musim menggunakan metode pranoto mongso.    

"Kami ingin memastikan bahwa kita yang memiliki kekayaaan kebudayaan begitu luar biasa bisa bersatu. Sebab sering kali hilangnya budaya, berakibat ikut hilangnya praktik-praktik baik menjaga bumi," ujar Hilmar Farid.

Semangat dari Pekan Konsolidasi Tenaga Budaya adalah mengingatkan kembali bahwa di tengah situasi yang tidak sedang baik-baik saja hari ini, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman masyarakat adat.

"Para pembuat kebijakan di bidang kebudayaan harus menyadari itu. Inilah sesungguhnya sumber kekayaan luar biasa di masa sekarang. Ini menjadi sangat relevan. Orang (sering salah) menganggap tradisi itu bagian dari masa lalu."

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More