Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 25 Januari 2025 | 07:32 WIB
Kundori (35) menjemur dupa buatannya untuk Imlek di Desa Waru, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jumat (24/01/2025). (suara.com/Sigit AF)

SuaraJawaTengah.id - Muhammad Kundori, 35,  menuangkan serbuk kayu jati yang dicampur dengan cairan lem ke dalam ember plastik berdiameter 70 cm. Setelah kedua bahan menyatu, dia menambahkan cairan serbuk cendana dan gaharu, serta kalsium. Aroma harum pun semerbak memenuhi ruangan.

Saat itu, Kundori sedang menyiapkan adonan untuk pembuatan dupa di rumahnya di Desa Waru RT 04/06, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jumat (24/01/2025).  Dalam tradisi China, dupa dikenal sebagai hongsua atau hio yang biasa digunakan dalam acara keagamaan atau ritual.

Setelah adonan siap, dia kemudian menggulung ke batang lidi bambu yang sudah disesuaikan ukuran dan bentuknya. Dupa terkecil berukuran 30 cm, sementara terbesar hingga 90 cm.

Di momen Imlek tahun ini, pesanan paling banyak berukuran 60 cm untuk dikirim ke sejumlah Kelenteng di Kota Semarang dan kawasan pecinan.

Dupa yang sudah mulai terlihat bentuknya kemudian dijemur hingga kering dan diberi warna merah. Jika cuaca cerah, proses pengeringan hanya butuh waktu 2-3 hari. Namun, jika cuaca buruk seperti saat sekarang, membutuhkan waktu hingga satu minggu.

"Pengiriman sering  telat karena faktor cuaca," katanya saat ditemui SuaraJawaTengah.id.

Semua proses pembuatan dupa di rumah Kundori dilakukan secara tradisional. Menurutnya, ciri khas dari pembuatan dupa dengan cara tradisional  memiliki aroma yang kuat  dibandingkan dengan dupa pabrikan.

Rongga-rongga kecil yang terdapat di dupa buatan Kundori membuat parfum lebih mudah masuk sehingga menghasilkan aroma yang  tajam saat dibakar.

"Ciri khasnya, dupa tradisional seperti ini menunjang aroma, kalau dupa pabrikan itu, kan, parfumnya kurang meresap, jadi untuk aroma kurang, dupa dengan pembuatan manual aromanya lebih tajam," paparnya.

Baca Juga: 7 Klenteng Bersejarah di Semarang untuk Merayakan Imlek 2025

Membuat Dupa, Mempertahankan Budaya

Potret salah satu pengunjung sedang berdoa di dalam Klenteng Tay Kak Sei. Kamis (25/1/24) [Suara.com/Ikhsan]

Pembuatan dupa oleh keluarga Kundori sudah dimulai sejak 30 tahun lalu. Sepeninggal ayahnya, Kundori tetap menggeluti usaha tersebut.

Dia mengaku, membuat dupa tak hanya soal bisnis. Meski dupa lebih dikenal pada tradisi China, tetapi menurutnya dupa merupakan bagian dari budaya asli masyarakat Indonesia.

"Dupa tradisional pasarnya masih ada, tetap saya pertahankan. Ini juga warisan budaya lokal, saya mencintai budaya dan berusaha mengembangkannya," tutur ayah dua anak itu.

Dia pun tidak hanya menjual  dupa buatannya ke kelenteng, tetapi juga masyarakat secara umum. Di wilayahnya sendiri masih digunakan dalam sedekah bumi, tasyakuran, ziarah, dan ritual keagamaan Islam lainnya.

"Saya tidak membatasi yang membeli harus orang Tionghoa, tidak. Ini (dupa) juga bagian budaya kita," katanya.

Load More