Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 16 Januari 2025 | 07:15 WIB
Kawasan Pecinan di Batavia, sebelum 1870. Sumber: Digital Collection Leiden University (Kemendikbud/http://hdl.handle.net/1887.1/item:783006)

SuaraJawaTengah.id - Imlek 2025 kembali menjadi momen spesial bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Tidak hanya dirayakan dengan kemeriahan tradisional seperti lampion dan barongsai, tetapi juga menjadi waktu untuk merenungi jejak sejarah yang membentuk identitas mereka.

Salah satu bab penting dalam perjalanan ini adalah kebijakan Wijkenstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. 

Kebijakan tersebut menciptakan kawasan-kawasan Pecinan yang hingga kini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota-kota besar di Jawa Tengah.

Bagaimana kebijakan ini memengaruhi kehidupan masyarakat Tionghoa dan membentuk wajah keberagaman budaya kita? Simak cerita lengkapnya berikut ini. 

Baca Juga: 5 Tokoh Legendaris Tionghoa dari Jawa Tengah yang Menginspirasi

Sejarah Kebijakan Wijkenstelsel  

Sukacita perayaan Imlek 2025 tidak hanya menjadi momen mempererat tradisi, tetapi juga mengajak kita merenungi perjalanan sejarah panjang komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.

Salah satu warisan sejarah yang tak dapat dilepaskan adalah kebijakan Wijkenstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Melalui kebijakan ini, masyarakat Tionghoa diwajibkan tinggal di kawasan khusus yang kini dikenal sebagai Pecinan. Tujuannya, untuk membatasi interaksi sosial dan mempertahankan monopoli ekonomi Belanda.

Berdasarkan Staatsblad No.37 Tahun 1835, pemerintah Hindia Belanda menerapkan segregasi melalui dua kebijakan utama, yaitu Passenstelsel dan Wijkenstelsel.

Passenstelsel membatasi mobilitas warga Tionghoa dengan mewajibkan surat izin perjalanan untuk keluar dari tempat tinggal mereka, sedangkan Wijkenstelsel membatasi pemukiman mereka di wilayah tertentu. Akibatnya, hubungan sosial antara masyarakat Tionghoa dan kelompok lain sangat terbatas, meskipun interaksi ekonomi tetap berlangsung.

Baca Juga: Deadline 31 Maret! ASN Jateng Wajib Lapor Harta, Awas Bisa Kena Sanksi Berat

Dampak Wijkenstelsel di Jawa Tengah

Di Jawa Tengah, kebijakan ini melahirkan kawasan-kawasan Pecinan di kota-kota seperti Semarang, Solo, dan Tegal. Meski awalnya bersifat diskriminatif, kawasan ini berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. Semarang, misalnya, dikenal sebagai kota dengan Pecinan terbesar di Indonesia, yang menjadi bukti bagaimana masyarakat Tionghoa mampu bertahan dan beradaptasi di tengah keterbatasan yang diberlakukan.

Namun, kebijakan ini juga membawa dampak berat. Banyak keluarga Tionghoa yang harus meninggalkan rumah dan usaha di pedalaman untuk pindah ke kota. Kemiskinan melanda sebagian besar masyarakat Tionghoa karena terbatasnya ruang gerak untuk berkembang. Melalui agitasi di Pers Melayu Tionghoa, mereka mulai memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan hingga akhirnya kebijakan Passenstelsel dihapuskan pada tahun 1914 dan Wijkenstelsel secara resmi dihapuskan pada 1918.

Momen Imlek 2025 adalah waktu yang tepat untuk mengenang perjuangan komunitas Tionghoa melawan kebijakan diskriminatif ini. Kawasan Pecinan yang dahulu menjadi simbol pemisahan kini telah berubah menjadi pusat budaya yang hidup dan kaya makna. Di tengah lampion dan barongsai, sejarah ini menjadi pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan.

Sebagai generasi penerus, kita dapat terus merawat nilai-nilai toleransi dan keberagaman sambil menghormati warisan budaya yang telah melewati berbagai tantangan. Imlek bukan hanya perayaan, tetapi juga simbol kebangkitan dan adaptasi, yang menjadi cerminan kuatnya jiwa komunitas Tionghoa dalam menghadapi sejarah.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More