SuaraJawaTengah.id - Kasus dugaan antipancasila terhadap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Suteki berlanjut. Akibat dituding antipemerintahan dan simpatisan ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), semua jabatan akademik dilucuti oleh pihak Undip melalui Surat Ketetapan (SK) rektor.
Suteki harus menerima pil pahit, tak hanya jabatan yang telah membesarkan namanya hilang. Pun rasa malu pada lingkungan kampus, rekan, keluarga, dan lingkungan tempat tinggalnya.
"Ini pembunuhan karakter, character assassin, sebagai pengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila selama 24 tahun saya malu," kata Suteki, saat Suara.com menemuinya di Kampus Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Undip Semarang, Kamis (22/8/2019).
Suteki mengaku melawan stigma tersebut. Ia kemudian melayangkan gugatan kepada Rektor Undip Prof Yos Johan Utama di PTUN Semarang. Suteki menggugat putusan Surat Ketetapan (SK) Rektor Undip agar dibatalkan. Termasuk meminta direhabilitasi nama baiknya imbas dari dugaan anti Pancasila dan anti pemerintah.
Baca Juga:Undip Ngotot Cari Bukti Dugaan Prof Suteki Pro HTI
Suteki menerangkan, gugatan bukan sebagai aksi melawan etika pihak kampus atau melawan seniornya Rektor Undip. Lebih dari itu, dia mengaku memperjuangan kebenaran dan keadilan atas keputusan sepihak kampus yang memberhentikan jabatan fungsionalnya.
"Tidak fair hanya karena perbedaan pendapat, tidak ada transparansi pemeriksaan dan dasar yang tidak logis atas SK tersebut," katanya.
Menurut dia, Undip menilai yang dilakukan sebelumnya, berawal dari judical review atas Perpu Ormas di Mahkamah Konstitusi pada 2017. Selanjutnya dia juga hadir sebagai saksi ahli sesuai kapasitasnya sebagai ahli hukum tata negara, di PTUN Jakarta Timur dalam sidang pencabutan badan hukum Ormas HTI pada 2018.
"Mungkin karena HTI melihat saya saat judical review Perpu Ormas di MK, maka dia meminta saya untuk hadir sebagai saksi ahli," katanya.
Dalam persidangan 1 Februari 2018 itu, Suteki mengatakan sidang berjalan normal, baik dari pihak hakim, HTI, maupun pihak pemerintah sama-sama menanyakan kepadanya selaku saksi ahli hukum tata negara. Karenanya, dia mengaku sebagai ahli untuk memberi keterangan atas kepentingan negara.
Baca Juga:Dituding Pro HTI, Prof Suteki Jelaskan Asal Mula Khilafah
"Dari situ bermula, beredar saya simpatisan HTI, saya dituding anggota HTI, anti Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 45," ucapnya.
Diperkuat, dengan dia mendapati informasi dari perpesan WhatsApp yang beredar di kalangan wali amanat dan civitas akademika Undip, yang menyatakan jika Menristekdikti Prof M Nasir, meminta jika dirinya harus ditindak tegas.
Undip bereaksi, lalu dibentuk Dewan Kehormatan Kode Etik (DKKE) untuk meminta klarifikasi soal kehadiran dia pada dua sidang tersebut. Termasuk klarifikasi beberapa postingan Suteki di Facebook dan meme yang dinilai cenderung menyebarkan paham khilafiyah.
"Tapi itu cacat hukum, harusnya jumlah DKKE itu ganjil dalam memutuskan rekomendasi, ini genap hanya 20 orang, pangkat mereka juga banyak yang di bawah saya. Legalitas mereka dipertanyakan," katanya.
Undip tak lantas menyerah, lalu dibentuk Tim Pemeriksa Pegawai pada 5 Juni 2018, langsung dibentuk Rektor Undip. Untuk kembali memeriksa Suteki, pertanyaan saat itu masih pada materi pemeriksaan mirip dengan pemeriksaan DKKE, seperti klarifikasi keterlibatan HTI, dikatakan cenderung HTI, anti Pancasila dan NKRI.
Termasuk tim menanyakan kapasitas kehadiran Suteki pada sidang pencabutan badan hukum HTI, bahwa Suteki datang bukan sebagai perwakilan Undip namun datang secara pribadi. Atas dasar itu Undip menyatakan Guru Besar Pancasila tersebut melanggar disiplin sebagai ASN, karena membolos dari kewajibannya sebagai pengajar di kampus.
"Saya tanya juga pada tim, semua pernah membolos bahkan saya punya bukti ada pegawai yang sengaja menitip kartu gesek absensi. Tapi semua diam," katanya saat itu.
Dari pemeriksaan itu, tim kemudian rapat dengan rektor dan mengeluarkan keputusan SK Nomor 223 pada tanggal 6 Juni 2018, menyebutkan jika demi kelancaran pemeriksaan maka Suteki diberhentikan tugasnya sementara di Undip, mulai dari Kaprodi Magister Ilmu Hukum, Ketua Senat Fakultas Hukum, dan anggota Komisi Empat Senat Universitas.
Saat itu suasana tensi di Undip mulai menurun, bahkan pihak rektorat akhirnya menyodorkan surat kepada Suteki untuk menandatangi pernyataan bahwa dia setia kepada Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan setia pada UUD 45. Surat pernyataan itu juga sempat diperbarui oleh Rektor Undip.
"Saat itu saya anggap semua permasalahan sudah selesai. Tapi kemudian keluar SK yang menetapkan saya diberhentikan total," katanya.
SK itu Suteki mengklaim pihaknya tidak diberi tembusan dan pemberitahuan, bahkan dia baru menerima SK bernomor 586 tertanggal 28 November 2018, atau lewat hampir enam bulan dari tanggal yang dia terima pada 24 Mei 2019.
"23 Mei saya protes pada rektor, lalu 24 Mei malah diberitahu SK tersebut, lewat enam bulan, logikanya dimana, saya selaku pihak yang diputuskan tidak diberitahu dan tembusi," katanya.
Dari situ, Suteki akhirnya menggugat melalui 21 advokat sebagai kuasa hukumnya di PTUN Semarang, karena adanya tindakan tidak fair, adanya maladministrasi pada SK Rektor Undip.
"Sesuai SK Nomor 223 yang berbunyi untuk kelancaran pemeriksaan. Kok langsung SK 586 tetap, ini meloncat, nalarnya dimana. Kapan itu pembuktiannya, tidak ada pembuktian secara layak," katanya.
Selain itu, Suteki juga diberhentikan sebagai dosen Pancasila di Akademi Kepolisian melalui surat rekomendasi dari dekan dan rektor Undip kepada Gubernur Akpol Semarang, mulai Agustus 2018.
"Tidak ada transparansi pemeriksaan, ini melanggar. Saya juga pejabat fungsional IV D, artinya tidak sembarang memeriksa, harus ada tim penilai pusat termasuk Kemenristek Dikti," ucapnya.
Selain menggugat di PTUN, Suteki juga mengadukan para pejabat Undip termasuk rektor kepada Polda Jateng pada 31 Mei 2019. Proses penyidikan masih berlangsung dengan pemanggilan beberapa pejabat yang dilaporkan.
"Termasuk saya, rektor juga sudah diperiksa. Ada sekitar 11 pejabat Undip yang diperiksa," kata Suteki.
Kontributor : Adam Iyasa