SuaraJawaTengah.id - Pernikahan anak di bawah umur di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) masih mengalami peningkatan dalam setahun belakangan ini.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jateng, ada sekitar 1.377 anak laki-laki dan 672 anak perempuan yang melakukan pernikahan pada 2019. Jumlah ini melonjak di tahun 2020, di mana 1.070 anak laki-laki yang melakukan pernikahan dini, sedangkan anak perempuan mencapai 7.268 orang.
Dilansir dari Solopos.com, Kepala DP3A Jateng, Retno Sudewi, mengatakan pernikahan dini atau anak di bawah umur disebabkan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan hamil di luar nikah.
Selain itu, lonjakan pernikahan dini itu juga disebabkan adanya perubahan batasan usia menikah yang ditetapkan dalam UU No.16/2019 tentang perubahan atas UU No.1/1974 tentang Perkawinan.
Baca Juga:Update Cuaca Hari Ini: Jateng Bagian Barat Berpotensi Hujan Lebat
Semula, batasan usia menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, kini batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yakni 19 tahun.
"Angka untuk Jateng terdapat 10,2% yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Angka perkawinan anak termasuk tinggi," ujar Retno Rabu (18/11/2020).
Retno mengaku berbagai upaya telah dilakukan Pemprov Jateng dalam menekan angka pernikahan dini itu. Meski demikian, ia menilai upaya itu tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat.
"Harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media," katanya.
Sementara itu, aktivis anti-perkawinan usia anak dari Yayasan Kita Bersama, Lies Marcoes Natsir, menilai Jateng memiliki modal bagus untuk menjadi penggerak pencegahan perkawinan anak.
Baca Juga:Sikapi Status Gunung Merapi, Pemda DIY dan Jateng Diminta Susun Kontingensi
"Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perkawinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari Jateng. Dari segi keagamaan, Jateng memiliki banyak pesantren. Sedangkan kekuatan ekonomi, Jateng memiliki banyak industri. Ini modal besar sebenarnya," ujar Lies Marcoes.
Sedangkan Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rahesli Humsona, menilai tingginya angka perkawinan anak di Jateng merupakan pelanggaran hak-hak anak.
Meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.
“Perkawinan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terang Rahesli.