SuaraJawaTengah.id - Wilayah Perbukitan Menoreh pernah menjadi basis pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (tahun 1825-1830). Banyak petilasan dan benda-benda peninggalan Diponegoro tercecer di perbukitan ini.
Salah satunya bedug di Masjid Tiban Baiturrahman, Dusun Tingal Wetan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Bedug ini diyakini adalah genderang perang pasukan Pangeran Diponegoro.
Sesepuh Desa Wanurejo, Izzudin Sholeh mengatakan, meski tidak ada data akurat, warga yakin bedug ini adalah peninggalan Pangeran Diponegoro. Sejarahnya hanya diceritakan oleh para orang tua secara turun-temurun.
“Menurut orang tua dulu, bedug ini tamburnya Diponegoro. Tambur perang. Kalau jaman sekarang bahasanya gederang perangnya Pangeran Diponegoro,” kata Izzudin, Senin (15/3/2021).
Baca Juga:Tercatatkan, Pengunjung Candi Borobudur Capai 8.000 Orang per Hari
Cerita soal bedug ini cocok dengan fakta sejarah bahwa daerah pertahanan Pangeran Diponegoro, dulu meliputi wilayah yang saat ini masuk Kecamatan Salaman. Di daerah ini juga terdapat petilasan Diponegoro berupa Langgar Agung.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap pemimpin Belanda, Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830 di Magelang, pasukannya bubar. Genderang perang kemudian ditinggalkan di daerah sekitar barat Desa Wanurejo.
“Dengan kebijaksanaan entah itu dari anggota pasukannya atau dari masyarakat, bedug dibawa ke masjid ini. Soalnya Diponegoro kan juga ulama. Peninggalan gederang perangnya juga seperti itu (berbentuk bedug),” kata Izzudin.
Menurut Izzudin, rangka bedug peninggalan Pangeran Diponegoro di Masjid Tiban Baiturrahman masih asli. Hanya kulit dan kayu penopangnya saja yang sudah beberapa kali diganti.
Sayang, rangka bedug sempat dipernis sehingga menghilangkan kesan kuno dan sakral. Saat itu bedug akan dipamerkan pada event Gelar Budaya Desa Wanurejo yang diadakan tiap bulan Suro (bulan Muharrom).
Baca Juga:3 Menteri Kunjungi Borobudur, Ganjar: Kami Menyamakan Persepsi
“Dulu kelihatan tua dan sakralnya. Kelihatan kalau barang kuno. Padahal ini masih benda yang sama. Kalau kulitnya sudah berganti-ganti. Tiangnya juga. Tapi kalau fisik (bedugnya) ini masih asli.”
Pada masa Orde Baru, bedug peninggalan Pangeran Diponegoro ini sempat 2 kali dipamerkan di Museum ABRI Satria Mandala Jakarta. Para petinggi militer saat itu bahkan meminta bedug disimpan di Museum Satria Mandala.
“Diminta dari sana waktu itu akan dipindah ke Museum ABRI. Tapi saat itu masyarakat tidak boleh. Terus dikembalikan,” ujar Izzudin Sholeh.
Benda bersejarah ini hingga kini masih aktif digunakan sebagai penanda waktu masuk shalat dan terutama saat malam takbiran. Kondisi kayu bedug tampak masih baik terawat.
“Ini masih sering digunakan. Alat komunikasi yang paling efektif dulu kan ya lewat bedug. Mengumumkan orang meninggal, tanda waktu shalat. Malam takbiran juga masih dipakai,” pungkas Izzudin Sholeh.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi