Selain di Pedurungan Tengah, tradisi bagi-bagi kupat jembut juga dilakukan di Jaten Cilik yang masih satu kecamatan dengan Pedurungan Tengah. Di sini ada Munawir yang tahu lebih dalam mengenai asal-usul Kupat Jembut.
“Kupat ini sudah ada sejak tahun 1950,” terangnya.
Jadi ceritanya di tahun itu ada seorang warga yang pulang kampung akibat perang dunia ke 2. Saat itu warga masih hidup dalam kesederhanaan. Tidak ada bahan baku lain selain tauge, kelapa dan lombok.
Namun setelah bulan ramadan warga ingin melakukan syukuran. Akhirnya karena yang ada hanya bahan baku tadi, terciptalah kupat jembut.
Baca Juga:10 Tempat Wisata Semarang: Setiya Aji Flower Farm hingga Bukit VW
“Kalau dibuat kupat jembut kan langsung bisa dimakan tanpa membutuhkan banyak lauk pauk lainnya,” tambahnya.
Tradisi ini terus dilakukan secara turun temurun. Pada tahun-tahun tertentu karena berbagai gejolak politik di Indonesia, mungkin sempat berhenti, namun setelahnya tetap diadakan.
Terkait penyebutan jembut, hal ini sebetulnya hanya spontanitas warga. Sebab memang dari bentuk mirip seperti organ kelamin perempuan. Tapi kendati demikian, bukan berarti sebutan itu dimaksudkan untuk pemaknaan yang jorok.