Ramai Soal Petisi Boikot Saipul Jamil, Pengamat: Menandakan Masyarakat Mulai Kritis

Ramainya petisi boikot Saipul Jamil menjadi tanda masyarakat mulai kritis dengan tayangan di media massa

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 12 September 2021 | 12:18 WIB
Ramai Soal Petisi Boikot Saipul Jamil, Pengamat: Menandakan Masyarakat Mulai Kritis
Unggahan Soal Saipul Jamil [change.org]

SuaraJawaTengah.id - Bebasnya pedangdut Saipul Jamil dari penjara menjadi sorotoan publik. Apalagi kebebasan mantan suami Dewi Perssik itu dilakukan secara mewah dan meriah. 

Ditambah, Saipul Jamil tampil di salah satu televisi. Hal itu pun membuat publik semakin geram. 

Mayoritas orang menilai tayangan tersebut tidak patut disiarkan karena Saipul Jamil merupakan sosok yang tidak pantas dijadikan panutan karena tersandung kasus pedofilia.

Menyadur dari Solopos.com, tak pelak siaran tersebut menimbulkan gejolak di masyarakat hingga ke dunia maya. Sejumlah tagar yang mengkritisi peristiwa tersebut bergaung di dunia maya.

Baca Juga:KPAI Sindir Keras Keputusan Ketua KPI Soal Saipul Jamil: Tidak Layak!

Warganet bukan hanya menyayangkan penyambutan Saipul Jamil yang berlebihan, tetapi juga sikap pihak otoritas yang membiarkan siaran tersebut begitu saja.

Hal yang menambah kekecewaan adalah pernyataan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio, yang mengizinkan Saipul Jamil tampil di televisi untuk mengedukasi bahaya predator seksual. Namun KPI melarang si pedangdut untuk tampil dalam konteks menghibur. Agung pun mengakui ada penggiat hak asasi manusia yang mengkritik keputusan KPI.

“Kita singkirkan HAM sementara, toh dia boleh tampil dalam konteks edukasi. Ini kita enggak melarang, tapi membatasi, harus dipahami. Jadi enggak ada pelarangan, enggak boleh ke mana-mana, ini membatasi,” ujar Agung saat menjadi  bintang tamu podcast Deddy Corbuzier, Kamis (9/9/2021).

Dalam mengambil keputusan, menurut Agung, KPI mengambil referensi dari luar negeri untuk kasus kejahatan seksual. “Lihat referensi dari luar negeri, dibatasi, bahkan pelaku kejahatan seksual dipasangi pelacak, karena perilaku seperti ini bisa muncul kembali,” ujar Agung.

Menurut Agung, jika stasiun televisi menjadi permisif dalam kasus Saipul Jamil, ia khawatir dengan respons penonton. Dia juga mengkhawatirkan kondisi korbannya, ketika melihat Saipul Jamil tampil tanpa beban. Dia bahkan mengaku secara pribadi tidak menyukai tayangan penyambutan Saipul Jamil tersebut.

Baca Juga:Ketua KPI Bolehkan Saipul Jamil Tampil di TV Untuk Edukasi, KPAI: Tidak Layak

“Apakah dia layak diglorifikasikan? Enggak layaklah, kalau gue bukan anggota KPI, gue muntah, gue enggak suka tayangan itu,” ujarnya.

Sebagai informasi pedangdut Saipul Jamil menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman selama empat tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (2/9/2021) 2021.

Saat bebas, dia dijemput oleh kekasihnya Indah Sari dengan menggunakan mobil Porsche merah. Ia juga dikalungi karangan bunga. Mantan suami Dewi Perssik itu juga langsung diundang ke berbagai acara di televisi dan Youtube yang menjadi sorotan publik.

Akibatnya muncul petisi untuk memboikot Saipul Jamil. Sampai akhirnya beberapa stasiun televisi membatalkan kontrak dengan sang pedangdut.

Menyadari momen kebebasannya menuai kritikan, Saipul Jamil pun curhat kepada Gilang Dirga tentang kesedihannya diboikot masyarakat. Dia merasa sedih karena mendapat penolakan dari masyarakat setelah menjalani hukuman selama bertahun-tahun di penjara.

“Masak enggak cukup sih apa yang terjadi sama gue. Gue keluar mestinya mendapat support,” kata Saipul Jamil.

Pelantun tembang Ratu Hatiku itu juga bertanya kepada pengacara kondang Hotman Paris tentang masa depan kariernya. Apalagi setelah KPI melayangkan surat kepada beberapa stasiun televisi yang seolah-olah melarang Saipul tampil.

“Saipul Jamil datang ke saya menanyakan surat KPI tanggal 6 September 2021 yang judulnya tindak lanjut keberatan masyarakat,” katanya dalam video di akun Instagram pribadinya.

Saipul mengaku mengalami kerugian akibat adanya surat tersebut. Hotman Paris juga heran dengan isi surat KPI kepada pihak televisi yang seolah-olah melarang Saipul Jamil tampil. Padahal tidak ada putusan pengadilan yang melarang Saipul Jamil tampil di TV setelah bebas dari penjara.

Literasi Media

Menanggapi kontroversi yang timbul terkait Saipul Jamil, pakar komunikasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sri Hastjarjo, Ph.D, mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan peningkatan pemahaman masyarakat tentang literasi media.

“Petisi dari masyarakat yang muncul untuk memboikot Saipul Jamil ini menandakan masyarakat mulai kritis. Kalau ditanya kepada acara seperti itu [momen penyambutan Saipul Jamil] tayang di TV, kemungkinan memang karena masyarakat haus akan berbagai informasi tentang pesohor, termasuk yang berbau sensasi. Dan ketika sensasi itu dimunculkan kemudian timbul respons negatif, maka hal ini menunjukkan bahwa literasi masyarakat tentang media mulai terbentuk,” terang Sri Hastjarjo di UNS Solo, Selasa (7/9/2021).

Pria yang akrab disapa Has ini menambahkan tayangan televisi selama ini lebih banyak menonjolkan sensasi dan dramatisasi dan sulit diubah. Hal ini disebabkan karena khalayak media tersebut menyukai hal-hal berbau sensasi.

Akan tetapi munculnya pemboikotan Saipul Jamil untuk tampil di TV merupakan satu indikasi tingkat literasi masyarakat mulai terbentuk. Has juga menyarankan agar masyarakat sebagai khalayak televisi mulai merumuskan kembali kategori sosok figur publik yang layak tampil dan mendapat ruang di media massa.

“Kalau dulu isi media TV itu kebanyakan figur publik seperti artis, justru belakangan ini terjadi pergeseran. Siapapun yang trending, entah artis atau bukan bisa saja tampil di TV. Tetapi apakah mereka ini kemudian layak disebut sebagai figur publik? Atau figur publik itu harus memiliki nilai luhur yang layak dijadikan panutan? Ini yang perlu dirumuskan kembali,” sambung Has.

Jika melihat betapa besarnya bisnis industri media televisi, maka tayangan berbau sensasi dan dramatisasi akan sulit dihilangkan, apalagi jika masih diminati masyarakat sebagai khalayak media. Dengan demikian, membicarakan media yang ideal adalah hal yang rumit.

“Kalau berbicara tentang bagaimana media yang ideal itu akan sangat rumit. Televisi ini media massa yang juga suatu industri bisnis. Ketika membicarakan bisnis, maka apapun yang mendatangkan uang akan dijual, termasuk sensasi dan dramatisasi yang lama-kelamaan membuat masyarakat jenuh,” imbuh Has.

Ketidakberdayaan KPI

Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia sebagaimana diamanahkan UU sebagai regulator penyiaran di Indonesia berdasarkan UU nomo 32 tahun 2002 menjamin menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, membangun iklim persaingan yang sehat antar-media.

KPI berwenang menetapkan standar program siaran, menyurun peraturan dan pedoman prilaku penyiaran, serta mengawasi pelaksanaan peraturan dan Pedoman prilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran.

Akan tetapi, KPI tidak memiliki kewenangan untuk memberikansanksi berupa denda maupun menghentikan program siaran secara permanen. KPI hanya dapat memberikan teguran tertulis, penghentian sementara, dan pengurangan durasi program siaran yang sering kali tidak menimbulkan efek jera.

Menurut Sri Hastjarjo hal tersebut menunjukkan lemahnya kewenangan KPI sebagai Lembaga pengawas segala macam bentuk siaran di Indonesia.

“KPI ini kan tidak punya kewenangan menghentikan program, makanya sanksi yang diberikan sering kali tidak menimbulkan efek jera. Itulah kenapa sampai sekarang banyak kritikan juga kepada lembaga ini,” tandasnya.

Hal senada disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIK) UGM, Wisnu Martha Adiputra. Dia menyebut stasiun televisi yang mengundang Saipul Jamil bersikap cuek, karena dalam banyak kasus KPI tidak tegas.

Ia menegaskan bahwa memberi panggung kepada para pelaku kejahatan terhadap anak adalah hal yang tak bisa diterima. Dampaknya, masyarakat akan semakin permisif soal pelaku kejahatan seks kepada anak.

“Secara umum masyarakat akan lebih tertarik dengan tayangan kehidupan personal bukan pada kepentingan publik. KPI selalu bilang bahwa siaran resepsi selebriti secara langsung adalah mengapresiasi budaya lokal. Ini kan aneh,” ujarnya, Minggu (12/9/2021).

Solusi

Melihat rumitnya sistem regulasi penyiaran dan banyaknya konten yang dinilai tidak mendidik, maka diperlukan pendidikan literasi yang tepat.

Pada era digital khalayak bukanlah pihak pasif yang hanya diterpa informasi, tetapi dapat turut aktif memilih konten untuk dikonsumsi. Maka, bertahan atau tidak suatu program siaran serta ketenaran suatu pihak sangat bergantung pada pilihan masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini