Kisah Penumpasan PKI di Tegal: Mayat-mayat Hanyut di Sungai Ketiwon

PKI menjadi cerita kelam bangsa Indonesia, orang yang diduga ikut berpartisipasi diasingkan hingga dieksekusi mati, termasuk di Tegal, Jawa Tengah

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 30 September 2021 | 10:00 WIB
Kisah Penumpasan PKI di Tegal: Mayat-mayat Hanyut di Sungai Ketiwon
Ilustrasi kuburan para korban atau pengikurt Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Tengah. [Suara.com/Iqbal]

SuaraJawaTengah.id - ‎Pembantaian massal anggota, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta orang-orang yang dituduh komunis pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 menjadi salah satu cerita kelam dalam sejarah Indonesia. ‎Cerita kelam pada kurun waktu 1965-1966 itu juga terjadi di Kota Tegal.

‎Menurut sejarawan Pantura Wijanarto, Tegal termasuk daerah merah sehingga turut menjadi sasaran tindakan pembersihan yang dipimpin Mayjen Soeharto usai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

"Di Tegal, kelompok-kelompok kiri yang dianggap komunis cukup banyak di pabrik gula, ‎pabrik tekstil. Mereka turut menjadi sasaran pembersihan," ujarnya, Senin (13/9/2021).

Penumpasan anggota, simpatisan dan orang-orang yang dituduh PKI itu dilakukan dengan sejumlah cara. Salah satunya dengan menggunakan tangan kelompok masyarakat yang berseberangan dengan ideologi komunis.

Baca Juga:Cerita PKI Menangi Pemilu 1955 Hingga Kuasai DPRD Yogyakarta Selama Satu Dasawarsa

"Untuk menandingi dan membersihkan buruh-buruh yang dianggap PKI, buruh-buruh lain dilatih menjadi Pam Swakarsa. Mereka mengeksekusi langsung. Ladang pembantaiannya di wilayah Martoloyo," kata Wijanarto.

‎Mayat orang-orang yang dieksekusi, kata Wijanarto, ada yang dibuang ke sungai Ketiwon. Sungai besar di perbatasan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal itu bermuara ke laut.

"Jumlahnya berapa yang jadi korban memang tidak ada data pastinya, namun saat itu dari jumlah buruh yang ada, banyak yang hilang, sekitar ratusan," ujarnya.

Sungai Ketiwon di perbatasan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, tempat mayat orang-orang yang dituduh PKI dibuang. [Suara.com/F Firdaus]
Sungai Ketiwon di perbatasan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, tempat mayat orang-orang yang dituduh PKI dibuang. [Suara.com/F Firdaus]

Menurut Wijanarto, pembantaian massal tak hanya menyasar kalangan buruh, tetapi ‎juga menimpa kalangan guru yang dianggap bagian dari PKI. "Guru-guru juga jadi korban. Mereka guru yang ikut PGRI Non-Vaksentral (organisasi guru yang dibentuk PKI)," ucapnya.

‎Selain dibunuh, orang-orang yang dianggap komunis di Tegal juga ada yang ditahan di sejumlah tempat, seperti di Sukabumi, Pulau Nusakambangan, dan Pulau Buru. "Yang mengerikan ya yang dieksekusi langsung oleh Pam Swakarsa," kata Wijanarto.

Baca Juga:Partai Politik di Bali Sekitar 1965: Gubernur Sutedja Berseteru dengan Wedastera Suyasa

‎Menurut Wijanarto, saat masih eksis, PKI juga memiliki kantor di Tegal yang menempati sebuah bangunan di Jalan AR Hakim, Kota Tegal. Setelah tak lagi menjadi kantor PKI, bangunan itu digunakan sebagai kantor bank.

"Bangunan itu dulunya bekas Bank Summa. Itu saksi mata mengatakan, sebelum jadi bank, markasnya PKI di situ‎," katanya.

‎Wijanarto mengatakan, keberadaan kaum kiri di Tegal juga bisa ditarik ke masa sebelum kemerdekaan, tepatnya pada 1926. Pada tahun itu, terdapat sekitar 3.000 orang di Tegal yang menjadi anggota Sarekat Rakyat dan PKI. 

‎"Buktinya, pada masa itu ada pemberontakan kaum kiri terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Kaum kiri itu berasal buruh di pelabuhan, pabrik gula, percetakan, listrik dan kereta api. Kemudian ada Peristiwa Tiga Daerah, itu juga ada keterlibatan orang-orang kiri," jelasnya.

Wijanarto mengungkapkan, salah satu tokoh pergerakan kaum kiri di Tegal yakni Mohammad Nuh. Tokoh ini aktif di PKI serta ikut dalam pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926 dan Peristiwa Tiga Daerah pada 1945 yang meletus di Tegal, Brebes dan Pemalang.

"Mohammad Nuh juga menjadi korban pembersihan orang-orang PKI di berbagai daerah pada ‎tahun 1965 karena dituding terlibat PKI. Padahal setelah tahun 1945, dia sudah mundur dari aktivitas politik dan membuka toko kacamata. Dia ikut dibunuh karena orang mengira dia terlibat G30S 1965," ujarnya. 

Kontributor : F Firdaus

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini