Sinisme Politik Jelang Pilpres 2024, Dulu Cebong dan Kampret, Kini Celeng Vs Banteng

Muncul ungkapan sinisme politik jelang pilpres 2024, dulu ada Cebong dan Kampret, kini ada Celeng Vs Banteng

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 12 Oktober 2021 | 15:50 WIB
Sinisme Politik Jelang Pilpres 2024, Dulu Cebong dan Kampret, Kini Celeng Vs Banteng
ILUSTRASI - Babi hutan masuk ke stasiun. (Facebook/Koonhung Tsang)

Rivalitas cebong dan kampret semakin meruncing setelah Pilpres 2019 yang memenangkan kubu Jokowi. Namun tindakan Prabowo yang mengklaim kemenangan namun berujung kekalahan membawa dampak polarisasi sampai hari ini.

Hasil penelitian M Tazri dari Universitas Muhammadiyah Riau bertajuk Cebong dan Kampret dalam Perspektif Komunikasi Politik yang diterbitkan dalam Jurnal PIKMA menunjukkan bahwa istilah tersebut merupakan sinisme politik yang berlebihan yang merupakan bentuk penurunan bahasa komunikasi politik di Indonesia.

Hal senada disampaikan Nur Rohim Yunus dkk dalam penelitian bertajuk Kecebong Versus Kampret: Slogan Negatif dalam Komunikasi Politik pada Pemilihan Presiden 2019. Artikel yang diterbitkan pada jurnal SALAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyimpulkan bahwa slogan tersebut merupakan bentuk sentimen negatif yang berkembang di media sosial dan tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat jika ditinjau berdasarkan perspektif etika publik berlandaskan Pancasila.

Sinisme Politik

Baca Juga:Prabowo Subianto Maju Pilpres 2024, Riza Patria: Bukan Keinginan Beliau, Tapi Kader

Akan tetapi, sinisme politik semacam itu agaknya tidak terhindarkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya polemik Celeng versus Banteng di internal PDIP. Pakar Komunikasi Politik UNS Solo, Sri Hartjarjo, memaknai penggunaan simbol tersebut dipakai sebagai label guna membentuk wacana publik.

“Dalam politik itu wacana menjadi penting, karena akan digunakan untuk membangun persepsi publik di internal partai maupun eksternal,” kata Hastjarjo, Selasa (12/10/2021).

Dalam internal PDIP, label ini memuat makna siapapun yang bersimpati dengan pendukung Ganjar berarti tidak mau tunduk kepada partai. Namun, di sisi lain kader pendukung Ganjar tidak mau disebut pembelot hingga membalas dengan sebutan bebek.

“Secara teknik retorika, terjadi permainan rima ketika kata celeng disandingkan dengan kata banteng. Bunyinya mirip, tetapi makna kedua kata itu bertolak belakang. Teknik ini biasanya digunakan untuk menegaskan makna yang ingin disampaikan oleh seseorang,” ungkap dia.

Kata banteng memiliki simbol kuat, berani, dan kokoh. Sementara celeng mewakili simbol liar dan destruktif yang cukup kasar bagi warga Jateng.

Baca Juga:Prabowo Nyapres Lagi, Riza: Beliau Sosok Demokratis, Hari Ini Jalankan Amanah Pak Jokowi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak