SuaraJawaTengah.id - Ancaman tenggelamnya pesisir pantai utara atau Pantura ramai dibahas. Namun, faktanya bencana tersebut semakin menjadi kenyataan. Abrasi atau penurunan permukaan tanah terjadi di wilayah pesisir.
Kabupaten Demak pun diprediksi wilayah paling parah terdambak abrasi Pantura tersebut. Sejumlah desa di wilayah pesisir Demak sudah tenggelam secara permanen akibat abrasi dan banjir rob atau air laut pasang.
Menyadur dari Solopos.com yang mengutip dari kanal Youtube Lipsus 6 “Prediction of the Demak Sinking and the Return of the Muria Strait”, salah satu desa di kawasan pesisir Kabupaten Demak yang sudah tenggelam adalah Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung.
Sejak 2005-2007, warga di dukuh tersebut sudah pindah karena genangan banjir rob. Namun dari banyaknya kepala keluarga (KK) yang pindah, satu KK memutuskan untuk bertahan, yaitu keluarga Mak Paijah.
Baca Juga:Abrasi Sungai di Padang Pariaman, Puluhan Keluarga Mengungsi
Mak Paijah sudah 32 tahun tinggal di sana sejak dia menikah dengan suaminya. Dia dan suami dulu adalah seorang petani di dukuh tempat tinggalnya.
Selain sebagai petani, Mak Paijah dan suaminya juga berprofesi sebagai nelayan. Semenjak dukuh tempat tinggalnya diterjang rob pada 2000, dia kehilangan lahan sawahnya sehingga untuk mata pencaharian hanya mengandalkan pada penjualan hasil ikan tangkapan mereka, yaitu ikan belanak.
Setiap dua kali seminggu, Mak Paijah harus ngangsu air bersih untuk keperluan sehari-hari dan untuk memperoleh air bersih tersebut, Mak Paijah harus membayar Rp40.000 sebulan. Mak Paijah juga mengatakan bahwa sejak 2010, daratan tempat tinggalnya sudah total tenggelam hingga menjadi laut.
Selain berjualan ikan, Mak Paijah dan suami juga memiliki usaha sampingan, yaitu menjual bibit mangrove. Pemebelinya beragam,ada yang dari Jakarta hingga Bali. Sekali berjualan bibit, bisa laku hingga 5000 bibit sehingga hasil penjualannya bisa membiayai sekolah ketiga anaknya.
Anaknya yang ketiga bernama Kodriyah dan masih bersekolah. Setiap hari sejak masuk duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Kodriyah harus siap berangkat sekolah mulai pukul 05.30 WIB untuk menyebrang ke daratan.
Baca Juga:Mbah Minto Warga Demak Nekat Bacok Pencuri Ikan, Alasannya: Saya Disetrum
Setelah itu, dia harus naik bus hingga turun di titik kumpul untuk nantinya dijemput menggunakan bus sekolah. Tak jarang Kodriyah terlambat ke sekolah, khususnya saat musim penghujan tiba karena gelobang laut besar sehingga membuatnya harus menunggu hujan reda terlebih dahulu.
Salah satu tokoh masyarakat di Kecamatan Sayung, Sayidi mengatakan sudah ada dua desa di kecamatan tersebut yang dibedol akibat abrasi dan banjir rob ini. Lahan pertanian yang tenggelam sekitar 1000 hektar (Ha). Sayidi juga mengatakan bahwa bencana abrasi ini sudah mulai terasa sejak 1997, di mana banyak lahan dan daratan yang mulai terkikis hingga masuk ke pemukiman warga.
Sementara itu, Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnuah mengatakan bahwa bencana iklim ini sangat parah dan berdampak besar bagi masyarakat pesisir, khususnya di Kabupaten Demak yang hampir semua desa tenggelam akibat abrasi dan banjir rob ini. Namun parahnya, hal ini belum dianggap sebagai bencana bagi pemerintah.
Padahal bencana iklim ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah melalui proyek-proyek pembangunan yang dilakukan. Senada dikatakan oleh akademisi Unisula, Mila Karmilah yang mengatakan secara spesifik bahwa bencana abrasi ini mulai dirasakan sejak pembangunan Tanjung Emas serta pembangunan masif lainnya di kawasan pesisir yang menyebabkan perubahan aliran air laut dan penurunan tanah (land subsidence) serta naiknya permukaan laut (sea level rises)
Kembalinya Selat Muria
Dengan banyaknya desa di kawasan pesisir Kabupaten Demak ini, diprediksi pada 2050 mendatang, Kabupaten Demak secara keseluruhan akan tenggelam. Hasil prediksi ini dikeluarkan oleh Climate Central dan berdasarkan simulasi dari organisasi tersebut, tenggelanya Kabupaten Demak ini juga diikuti dengan kabupatnen lainnya, seperti Kudus dan Pati. Dengan tenggelamnya Kabupaten Demak beserta daerah lainnya , memungkinkan selat muria yang dulu pernah ada, pemisah antara Pulau Jawa dan Gunung Muria akan muncul kembali.
Seperti yang sudah diberitakan di Solopos.com, selat muria adalah cikal bakal munculnya kabupaten-kabupaten pantura, seperti Demak, Grobogan dan Pati. Hilangnya selat muria ini diperkirakan terjadi pada abad ke-17 karena sedimentasi yang menyebabkan bersatunya Gunung Muria dan Pulau Jawa.
Selat Muria merupakan perairan purba yang kemudian mengalami pendangkalan dari proses sedimentasi material beberapa sungai yang bermuara di daerah yang sekarang disebut Grobogan, Demak, Kudus, dan Pati. Selain itu, pendangkalan itu juga disebabkan karena longsoran letusan Gunung Muria.
Terkait prediksi tenggelamnya Kabupaten Demak ini, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menggadeng rekan-rekan dari Polda Jawa Tengah menggelar program “Mageri Segara”, yaitu berupa penanaman bibit mangrove di Desa Bendono.
Program ini merupakan upaya pemerintah provinsi Jawa Tengah dalam mengantisipasi prediksi tenggelamnya Kabupaten Demak, khususnya daerah pesisir. Ganjar mengatakan jika tata ruangnya diatur dengan baik, maka ancaman tenggelamnya Kabupaten Demak karena dua tantangan yang disebutkan sebelumnya bisa dikendalikan dan diantisipasi.