SuaraJawaTengah.id - Seorang pemuda asal Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mendapat julukan gelar "ST" atau "Sarjana Telo".
Julukan tersebut bukan tanpa alasan, pemuda Banjarnegara yang memiliki nama lengkap Riza Azzumaridha Azra adalah sosok yang menjadikan singkong sebagai senjata utama dalam memperjuangkan nasib petani dan ketahanan pangan.
Ketertarikan laki laki yang akrab disapa Riza memang tidak seperti kebanyakan pemuda milenial saat ini. Di tengah era kecanggihan teknologi dan kehidupan serba modern, Riza pemuda asal Banjarnegara ini justru menyerahkan hidupnya pada singkong atau dalam bahasa jawa disebut "telo".
"Selama ini memang singkong dikenal sebagai makanan orang miskin , marjinal dan tidak banyak yang tertarik sama singkong,"ujar Riza kepada Suara.com Rabu (27/10/2021).
Baca Juga:Beredar Video Arus Deras Kali Kacangan Banjarnegara, Warga dan Pemancing Diminta Waspada
Riza yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Teknik dengan sukarela pindah haluan ke bidang pertanian. Kemirisan akan harga singkong yang hanya Rp200 rupiah per kilogram, menjadi alasan pertamanya untuk menekuni dan memperjuangkan nasib petani.
"Senang banget kegiatan sosial, di kuliah ada mentor ngajarin biar dekat sama orang yang kurang beruntung sampai akhirnya menemukan titik saya bahagia ketika bisa bikin orang lain bahagia. Sampai pada tahun 2014 pulang ke Banjarnegara bikin komunitas rumah baca, sahabat difabel dan Sekolah Inspirasi Pedalaman (SIP). Nah waktu nganter kursi roda ke salah satu anak, bapaknya (anak) ternyata petani singkong dan disitulah saya tahu kalau harga singkong cuma Rp 200 perak satu kilogram," jelas Riza.
Sesaat Riza melakukan survei harga singkong di sejumlah wilayah di Kabupaten Banjarnegara. Ternyata, Ia mendapati harga singkong yang sama yakni sekitar Rp 200 perak per satu kilogram.
"Saya lakukan analisis sosial ketika mendengar harga singkong segitu, dan ternyata hampir semua rata rata segitu (RP 200/kilogram). Bahkan sering para petani singkong membiarkan singkong membusuk di lahan daripada rugi karena harus mengeluarkan biaya panen. Disitu akhirnya memutuskan untuk menolong. Karena saya dulu nggak punya otoritas di singkong jadi saya pergi menemui pakar, praktisi dan akademisi,"kata Riza.
Dalam perjalan Riza memutuskan untuk mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Sebab, ditengah harga singkong yang sangat murah, Indonesia masih mengimpor gandum dan disisi lain petani singkong hidup dibawah gari kemiskinan.
Baca Juga:Tidur dengan Kakaknya, Bocah Gilang Tewas dalam Bencana Tanah Longsor di Banjarnegara
"Tujuannya mengurangi impor gandum yang menguras devisa negara. Kalau diseriusin bisa jadi kedaulatan pangan, negara Indonesia yang merupakan penghasil kedua singkong terbesar, tapi ternyata petani hidup dibawah garis kemiskinan. Ini ironi, hasil singkong melimpah, tapi kita impor gandum, sementara petani miskin,"papar Riza.
Ia semakin mantap untuk meniti perjuangannya dari nol. Riza melakukan pelatihan pembuatan tepung mocaf kepada petani singkong. Harapannya, petani dapat menjual hasil panennya dengan harga yang lebih tinggi jika dibandingkan langsung menjualnya dalam bentuk singkong.
Namun ternyata tak semudah itu. Riza mendapati masalah serius pada proses pemasaran. Petani mengeluh tidak bisa memasarkan produk tepung mocaf yang dibuat dengan jerih payah yang lebih dari hanya sekadar panen.
"Mungkin sebagian orang lihatnya saat ini, setelah memperoleh beberapa pencapaian. Tapi 7 tahun - 8 tahun itu kan panjang, sempat jatuh bangun, nyoba sendiri di rumah, kemudian diajarkan ke petani yang waktu itu belum tentu mau. Pikirku cukup mendampingi petani kemudian mereka bisa menjual sendiri. Ternyata tidak semudah itu. Ketika mengajarkan mereka, mereka komplain gimana cara menjualnya, butuh dokumen untuk identitas produk penjualan juga,"tutur Riza.
Seketika, Ia menyadari bahwa konsep pemberdayaan yang dilakukan belum tuntas. Ia memutuskan untuk membentuk ekosistem dari hulu ke hilir yaitu dari awal sampai akhir. "Tersadar setelah tahun 2016, ketika petani tidak bisa memasarkan. Kemudian ketika membentuk ekosistem muncul masalah lagi yaitu waktu itu masih kepikiran mau pemberdayaan atau bisnis, karena ada relawan yang butuh kehidupan juga,"kata dia.
Ia akhirnya melakukan konsultasi untuk menggabungkan sosial dengan bisnis yang disebut Sociopreneur. Hasilnya, konsep tersebut dinilai sangat menguntungkan bagi semua pihak.
"Ternyata memang ada yang namanya socialpreneur, hasil dari kegiatan sosial kita pasarkan, tapi ini bisnis berbasis keadilan,jadi sangat terbuka dan sangat diuntungkan serta tidak ada yang dirugikan. Jadi hasil bisnis bisa untuk kegiatan sosial, sustainability ,sehingga relawan bisa hidup, ini bisa jadi solusi," kata dia.
Sejak saat itu, Riza bersama tim membentuk ekosistem bisnis dari hulu sampai hilir dalam wadah yang diberi nama Rumah Mocaf Indonesia (RMI). Dalam Rumah Mocaf terdapat tiga klaster yaitu petani, pengrajin mocaf, dan branding sampai pemasaran.
"Di Rumah Mocaf ada tiga klaster yaitu klaster petani penghasil singkong organik yang berkualitas. Kemudian klaster kedua ibu ibu yang tidak ada pekerjaan, sekarang jadi pengrajin tepung mocaf yang tugasnya mengupas dan memotong singkong. Lalu klaster tiga pendampingan. Nah di kluster inilah proses pengemasan, sertifikasi, branding, digital marketing sampai menyiapkan ikut ajang lomba," jelas dia.
Pengusaha muda kelahiran 24 Maret 1991 ini juga memiliki konsep bisnis tanpa riba. Riza aktif ikut serta lomba sebagai jalan pintas untuk mendapat modal tanpa hutang. Kebetulan punya konsep nggak mau mainan riba untuk modal, konsep sociopreneur organik. Dan kami membuktikan tanpa ada suntikan pinjaman bisa, meski tidak secepat dengan yang menggunakan pinjaman,"ujar dia.
Kini, Rumah Mocaf Indonesia bekerjasama dengan 580 petani singkong dan pengrajin tepung mocaf di Kabupaten Banjarnegara. "Total sekitar 580 orang, itu jumlah petani dan juga pengrajin,"imbuh dia.
Tak hanya itu, keberhasilan Rumah Mocaf dibuktikan juga dengan perolehan penghargaan lomba bergengsi seperti, Hyundai startup challenge, Indonesia food innovation, kemudian Anugrah Bangga Buatan Indonesia, Kick Andy Heroes, dan Astra startup challenge. "Berkat doa para petani,
Rumah Mocaf berhasil meraih sejumlah penghargaan itu,"kata Riza sambil menunjuk piala yang berderet di depannya. Belum lama ini, founder Rumah Mocaf Indonesia juga mendapat kesempatan untuk berkeliling ke enam negara eropa dalam pameran inovasi pangan.
Ia merasa beruntung karena produk mocaf cocok dengan isu glutten free yang sedang booming di eropa.
"Saya mendadak ditelpon untuk keliling ke negara eropa. Ada Italy, Roma, Flores, Milan, Amsterdam, Den Haag, Belgia, dan Jerman, singkong lagi naik daun di negara eropa yang isunya tentang gluten free. Alhamdulillah dapet perjanjian kerjasama sama pembeli dari Belgia dan Amsterdam. Mereka mau order mocaf,"ungkap dia.
Sebelumnya, produk mocaf juga sudah export ke sejumlah negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Inggris. Ia menyampaikan pesan Bung Karno bahwa salah satu faktor maju - mundurnya faktor adalah sektor pangan dan pertanian. Sehingga, Riza berharap kepada pemuda untuk tidak enggan menjadi petani milenial.
Menurutnya, petani milenial tidak hanya sekedar menanam atau budidaya, tapi juga bisa mengemas, branding sampai digital marketing. Sehingga pertanian dapat terlihat seksi dan kekinian.
"Kata Bung Karno maju mundurnya bangsa salah satu faktor pentingnya adalah tentang pangan dan pertanian. Semaju majunya bangsa di bidang IT dan sebagainya kalau kurang pangan dari pertanian ya bisa mati kelaparan. Saatnya pemuda bangsa ikut andil turut menjadi agen perubahan. Turun untuk mengkolaborasikan hasil tani pangan lokal agar memiliki nilai tambah sehingga bisa go internasional, kuncinya ada pada anak muda sebagai pemegang tongkat estafet,"tegas Riza.
Ia merasa miris, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, mengalami penurunan jumlah petani. Bahkan, sebagian besar petani saat ini sudah berusia lanjut.
"Data yang kami peroleh terakhir bahwa petani muda secara jumlah turun, sekarang itu usia petani rata rata diatas 40 tahun -50 tahun. Ini harus regenerasi para pemuda milenial, harus mau,"tandas dia.
Sampai saat ini, Riza terus melakukan inovasi pengolahan singkong yang menjadi komoditi pangan kelas bawah menjadi lebih bergengsi. Ha itu adalah upaya yang dilakukan sebagai sumpah pemuda untuk membantu negara Indonesia dalam ketahanan pangan dan pemberdayaan petani Indonesia. "Di Rumah Mocaf kami ada tulisan 'Selama Rakyat Masih Menderita Tidak Ada Kata Istirahat,"pungkas Riza.
Kontributor : Citra Ningsih