SuaraJawaTengah.id - Perjalanan Kota Semarang tak lepas dari kelompok masyarakat dari Tionghoa. Makanan dan minuman legendaris pun juga bisa disebut peninggalan dari para leluhur keturunan orang-orang tiongkok.
Seperti lumpia, dan minumah keras Congyang yang diproduksi di Kota Semarang. Yang menjadi menarik, awal mula adanya Congyang adalah sebagai minuman obat dari master kungfu di Kota Atlas.
Kisah master kungfu di Kota Semarang itu pun dikaitkan dengan nama Wong Fei Hung pendekar kungfu legendaris dari Tiongkok yang kerap ditayangkan di layar kaca.
Master Wong, sapaan Wong Fei Hung, ternyata memiliki murid yang berasal dari Indonesia, yakni di Kota Semarang. Ia adalah Khong Ching Chiang, atau yang akrab dikenal dengan Suhu Khong A Djong.
Baca Juga:Wow! 25.271 Anak di Kota Semarang Disuntik Vaksin Covid-19
Bagi sebagian warga Kota Semarang, nama Khong A Djong mungkin sudah cukup familiar. Semasa hidupnya, Khong A Djong dikenal sebagai tabib atau pakar pengobatan Tiongkok di bidang ortopedi, atau penyembuhan tulang.
Namun, tak hanya ahli dalam ilmu pengobatan tulang. Khong A Djong juga dikenal sebagai jago ilmu bela diri, kungfu. Bahkan, konon Suhu Khong mewarisi ilmu kungfu dari Wong Fei Hung, atau Master Wong.
Menyadur dari Solopos.com jaringan Suara.com, Bram Luska, yang merupakan cucu murid Suhu Khong, Ang Hok Bie, mengatakan Khong A Djong mewarisi ilmu bela diri kungfu dari Wong Fei Hung.
Kepada Master Wong, Khong A Djong belajar ilmu pengobatan China. Sedangkan untuk ilmu bela diri, Khong A Djong berlatih di biara Shaolin Sie dan berguru pada master bela diri Hung Gar, Suhu Siong Mao, yang merupakan murid Wong Fei Hung.
Menurut Bram, kala itu Khong A Djong sempat belajar ilmu bela diri dan ilmu pengobatan dari Wong Fei Hung. Ilmu inilah yang untuk selanjutnya dipraktikan Khong A Djong saat pulang di Indonesia.
Baca Juga:Libur Nataru, Hendi Larang Pegawai Pemkot Semarang Bepergian Luar Kota
“Ilmu pengobatan yang dipelajari Suhu Khong disamping sebagai tabib atau sinse, juga mengenal ilmu ortopedi, atau yang dikenal sebagai pengobatan patah tulang,” ujar Bram beberapa waktu lalu.
Bram menuturkan Khong A Djong lahir di Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Kota Semarang, pada era 1900-an. Ia lahir dari pasangan Khong Hien Yie dan Lie Kwat Nio, yang berprofesi sebagai penjual lo siobak, sejenis penganan berbahan baku daging babi.
Saat berusia tujuh tahun, Khong A Djong dibawa neneknya ke Negeri Tirai Bambu. Di Tiongkok, Khong A Djong tinggal bersama pamannya di Nan Hai, Provinsi Kwantung.
Di China, Khong A Djong tak hanya belajar membaca dan menulis. Ia juga menuntut ilmu bela diri di biara Shaolin Sie dan juga berguru kepada Suhu Siong Mao, yang merupakan ahli bela diri aliran Hung Gar.
Rompi Macan
Di awal abad ke-20, A Djong juga pernah mengikuti turnamen beladiri untuk mendapatkan rompi yang terbuat dari kulit harimau, atau hua bei xin. Rompi itu sebagai hadiah bagi ahli bela diri yang telah memenangi pertarungan tujuh kali beruntun di arena pertarungan bebas, yang terbuat dari panggung setinggi 2 meter. Rompi kulit harimau itu pun hingga kini masih disimpan oleh putranya, Khong Fan Sen.