"Sekarang kan yang penting kalau ada air ya nanem. Tidak bisa lagi (perhitungan jawa) seperti Okmar (Oktober-Maret). Itu pun kalau bisa. Kadang telat soalnya airnya susah," ujarnya.
Saat ini, ia tidak bisa memprediksi masa waktu panen. Selepas panen ini, menurutnya baru bisa merasakan panen lagi pada pertengahan tahun depan.
"Ini panen lagi sepertinya Bulan Juli tahun depan. Soalnya lahan ini nganggur, pengesatan Bulan September itu rutin karena ada perawatan saluran air," tuturnya.
Petani Diminta untuk Adaptasi
Berkaitan dengan adanya pergeseran masa tanam, Dosen Fakultas Pertanian Unsoed, Ahadiyat Yugi R. S.P., M.Si., D.Tech.Sc menjelaskan terdapat berbagai faktor penyebabnya. Salah satunya adalah perubahan iklim yang sudah mulai nampak.
Menurutnya perubahan iklim itu akan berdampak ke global. Oleh sebabnya, metode sistem pertanian dengan penghitungan lama sudah tidak bisa lagi diterapkan pada masa sekarang.
"Salah satu misalnya di sana biasanya panennya tiga kali jadi dua kali karena masalah irigasi. Mungkin penyebabnya bisa saja di daerah hulu terlalu banyak deforestasi (penggundulan hutan). Sehingga serapan air daerah hulu menjadi kurang menyebabkan air yang masuk ke daerah hilir yang ditanami padi menjadi berkurang," katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Penggundulan hutan yang dimaksud lahan yang harusnya menjadi lahan hijau menjadi berkurang. Harusnya area tersebut dibuat untuk penghijauan yang tujuannya menjadi daerah serapan air jadi berkurang.
"Jadi itu masalah penggunaannya mau untuk perumahan atau industri, akhirnya serapan airnya berkurang kan. Dan itu akan menyebabkan volume dan debit air dari hulu ke hilir jadi rendah," terangnya.
Baca Juga:Agar Produktivitas Tidak Terganggu, Kementan Dorong Petani Ikut Program AUTP
Lalu yang kedua menurutnya karena permasalahan iklim global. Saat ini yang namanya musim hujan atau kemarau tidak bisa diprediksi. Berbeda dengan tahun 1990 an.