Sebaliknya, kata Hamidah, dengan sistem jual beli jabatan yang terpilih adalah orang yang bisa membayar, dan itu belum tentu orang yang terbaik.
Selain itu, terjadi diskriminasi karena orang baik yang memilii pendidikannya dan pengalamannya bagus, tapi tidak punya uang, tidak bisa membayar, akhirnya tersisihkan.
"Kalau pejabat yang terpilih karena dia merasa untuk mendapatkan jabatan dia perlu modal, maka yang akan dia lakukan juga mungkin akan menggunakan program-programnya untuk mendapatkan kembali modalnya. Program-program itu akhirnya tidak berjalan optimal karena dia sudah terjebak dalam lingkaran itu. Orientasinya balik modal, entah apapun caranya," ujar Hamidah.
Hamidah mengatakan, seorang kepala daerah harus hati-hati, tidak boleh ceroboh, dan jangan berpikir ke arah finansial.
Baca Juga:Klaim Tak Terbukti Korupsi, Mantan Bupati Tabanan Eka Wiryastuti Minta Diputus Bebas
Dia juga berharap gubernur punya instrumen untuk mengawasi kinerja dari kepala daerah di bawah gubernur.
Salah satu instrumennya, ujar Hamidah, bisa melalui Inspektorat yang melakukan penilaian terhadap program kerja dan perilaku kepala daerah.
Gubernur menurut dia harus melakukan aspek pencegahan di awal dan jangan sampai KPK sudah bertindak, baru melakukan pencegahan.
"Semua tidak cukup dengan imbauan, tapi harus diawasi. Kenapa program ini tidak dilakukan, alasannya apa, itu harus dicari. Lalu, misalnya jauh-jauh hari sudah ada isu-isu seperti itu (jual beli jabatan) ya harus turun. Dari inspektorat atau apa. Itu harus diteliti, kenapa bupati baru sebulan duduk kok sudah melakukan rotasi atau mutasi-mutasi, tidak menghabiskan masa jabatan yang bersangkutan," ujarnya.
Hamidah juga meminta wakil bupati yang akan melanjutkan kepimpinan harus benar-benar menjalankan pemerintahan yang bersih dan baik.
Baca Juga:Stafsus Eka Wiryastuti Bantah Soal Suap DID Tabanan, Yakin Tak Punya Keberanian
Wakil bupati harus mempelajari betul cara melaksanakan azaz-azaz pemerintahan yang baik, yaitu transparan, akuntabilitas, clean and clear, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak citra diri maupun secara kelembagaan, seperti suap proyek, dan jual beli jabatan.
"Kalau misalnya merasa gaji bupati kecil ya hidup sederhana, tidak perlu foya-foya, tidak perlu mengubah gaya hidup mewah. Harusnya malah lebih sederhana, lebih merakyat, sesuai dengan kemampuan. Lagipula segala kebutuhan kepala daerah itu kan sudah dicukupi. Misalnya rumah dinas, sampai dengan kebutuhan sehari-hari, transportasi, sudah dipenuhi semua. Kasarannya tinggal duduk manis, bekerja. Jangan sampai ini nanti bupati kena, wakilnya naik juga kena," tandasnya.
Koordinator Aliansi Masyarakat Pemalang Raya (AMPERA) Heru Kundhimiarso mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan melalui aksi, demontrasi, dan tulisan di media, bahwa dugaan jual beli jabatan dan jual beli proyek sudah jadi rahasia umum di Pemalang. Melalui berbagai cara itu, diharapkan Pemalang bersih dari perilaku semacam itu.
"Kami ingatkan bupati dan pejabat lain untuk tidak begitu. Tapi bukannya kapok malah menjadi-jadi.
Dengan adanya kasus ini, kami masyarakat Pemalang malu. Ini baru ada sejarahnya pemimpin di Pemalang ditangkap KPK. Pemalang ini kan masuk dalam daerah dengan kemiskinan ekstrem, sudah miskin ekstrem, dikorupsi, repot," ujarnya, Selasa (16/8/2022).
Kundhi mengaku sudah mencium gelagat adanya korupsi sejak akan adanya mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Pemalang sekitar tiga bulan setelah pelantikan bupati-wakil bupati terpilih.
Saat itu bupati langsung membuka seleksi rotasi jabatan dan membuat pansel melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD).