Perjuangan Ki Suwandi, Dalang Tunanetra Asal Banyumas, Bangkit Usai Divonis Buta Karena Gangguan Syaraf

Kisah Ki Suwandi yang kini tak bisa lagi melihat gemerlapnya lampu, namun ia harus bangkit memainkan wayangnya di tengah keterbatasan

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 10 September 2022 | 10:10 WIB
Perjuangan Ki Suwandi, Dalang Tunanetra Asal Banyumas, Bangkit Usai Divonis Buta Karena Gangguan Syaraf
Ki Suwandi Abdi Carito di kediamannya, Desa Kalikidang, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Sekitar delapan tahun silam, Suwandi (50) masih bisa melihat gemerlap tatanan lampu yang menyorot kelir di panggung hiburan rakyat. Siluet puluhan lakon wayang berjajar berdiri tertancap pada batang pohon pisang.

Dari malam ketemu pagi, hal itu ia lakukan sebagai dalang kondang di Kabupaten Banyumas hampir tiga sampai empat kali dalam seminggu. Puluhan tahun sudah profesi sekaligus hobi itu ia jalani.

Titik karir puncaknya sekitar tahun 2008. Bupati Banyumas yang saat itu menjabat, Mardjoko sangat kesengsem dengan penampilannya yang hapal hampir seluruh cerita pewayangan. Beberapa kali ia diundang untuk pentas saat acara resmi.

Pria kelahiran 1972 ini, selain mendalang juga dahulu berjualan tahu yang ia produksi sendiri di kediamannya Desa Kalikidang, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.

Baca Juga:Kronologi Penangkapan Sindikat Penimbun BBM Bersubsidi di Banyumas, Ribuan Liter Solar Disita

"Saya itu mulai mendalang dari tahun 1995 an. Awalnya memang hobi, terus senang dengan cerita pewayangan," kata pria yang memiliki nama panggung Suwandi Abdi Carito ini saat ditemui di kediamannya, Rabu (7/9/2022).

Malam hari kerap ia gunakan untuk pentas. Selesai pentas adalah waktunya untuk berdagang di pasar. Hal itulah yang membuat waktu tidurnya menjadi terganggu.

"Tempat jualan saya di Pasar Karanglewas. Waktu itu saya memiliki pabrik tahu sendiri. Karena digunakan untuk mendalang dan berjualan jadi waktu tidurnya sangat kurang," ungkap pria empat anak ini.

Tiba-tiba pada suatu siang di tahun 2014 ia merasa pusing waktu berjualan di pasar. Perlahan, penglihatannya mulai bermasalah. Seperti ada yang mengganggu ketika digunakan untuk melihat.

"Jadi awalnya itu kaya ada kabut putih, tapi masih bisa untuk melihat. Tapi lama-kelamaan tidak bisa melihat sama sekali dua tahun kemudian. Kaya putih semua tertutup kabut," ujarnya.

Baca Juga:Ratusan Pengemudi Ojol di Purwokerto Turun ke Jalan, Tuntut Tarif Operasional Naik

Berbagai pengobatan dari medis hingga alternatif sudah ia jalani. Tidak terhitung jumlah jenis pengobatan yang ia lakukan di berbagai kota.

Dari Jogja, Bandung, sampai Semarang. Ia bahkan sempat indekos hingga berbulan-bulan di Jogja untuk fokus menjalani pengobatan alternatif.

"Saya divonis buta karena gangguan syaraf oleh dokter. Jadi tidak bisa sembuh jika tidak ada yang mau mendonorkan syaraf. Bukan donor mata ya, tapi donor syaraf. Ini hampir tidak mungkin ada yang mau," tuturnya.

Pengobatan ini membutuhkan biaya tidak sedikit. Oleh sebabnya dengan terpaksa ia menjual segala aset yang ia miliki termasuk rumah yang berada di tepi jalan. Tak hanya itu, peralatan pewayangan kesayangannya pun tak luput dari aset yang relakan lepas ke tangan orang lain.

Usaha tidak akan mengkhianati hasil rupanya tak berlaku untuk kondisinya saat itu. Ikhtiarnya hampir dikatakan sia-sia. Penglihatannya memutih seluruhnya. Kehidupannya saat itu berubah 180 derajat. Semangatnya untuk pentas sudah tidak ada lagi.

Titik Balik

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak