SuaraJawaTengah.id - Sekitar delapan tahun silam, Suwandi (50) masih bisa melihat gemerlap tatanan lampu yang menyorot kelir di panggung hiburan rakyat. Siluet puluhan lakon wayang berjajar berdiri tertancap pada batang pohon pisang.
Dari malam ketemu pagi, hal itu ia lakukan sebagai dalang kondang di Kabupaten Banyumas hampir tiga sampai empat kali dalam seminggu. Puluhan tahun sudah profesi sekaligus hobi itu ia jalani.
Titik karir puncaknya sekitar tahun 2008. Bupati Banyumas yang saat itu menjabat, Mardjoko sangat kesengsem dengan penampilannya yang hapal hampir seluruh cerita pewayangan. Beberapa kali ia diundang untuk pentas saat acara resmi.
Pria kelahiran 1972 ini, selain mendalang juga dahulu berjualan tahu yang ia produksi sendiri di kediamannya Desa Kalikidang, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.
Baca Juga:Kronologi Penangkapan Sindikat Penimbun BBM Bersubsidi di Banyumas, Ribuan Liter Solar Disita
"Saya itu mulai mendalang dari tahun 1995 an. Awalnya memang hobi, terus senang dengan cerita pewayangan," kata pria yang memiliki nama panggung Suwandi Abdi Carito ini saat ditemui di kediamannya, Rabu (7/9/2022).
Malam hari kerap ia gunakan untuk pentas. Selesai pentas adalah waktunya untuk berdagang di pasar. Hal itulah yang membuat waktu tidurnya menjadi terganggu.
"Tempat jualan saya di Pasar Karanglewas. Waktu itu saya memiliki pabrik tahu sendiri. Karena digunakan untuk mendalang dan berjualan jadi waktu tidurnya sangat kurang," ungkap pria empat anak ini.
Tiba-tiba pada suatu siang di tahun 2014 ia merasa pusing waktu berjualan di pasar. Perlahan, penglihatannya mulai bermasalah. Seperti ada yang mengganggu ketika digunakan untuk melihat.
"Jadi awalnya itu kaya ada kabut putih, tapi masih bisa untuk melihat. Tapi lama-kelamaan tidak bisa melihat sama sekali dua tahun kemudian. Kaya putih semua tertutup kabut," ujarnya.
Baca Juga:Ratusan Pengemudi Ojol di Purwokerto Turun ke Jalan, Tuntut Tarif Operasional Naik
Berbagai pengobatan dari medis hingga alternatif sudah ia jalani. Tidak terhitung jumlah jenis pengobatan yang ia lakukan di berbagai kota.
Dari Jogja, Bandung, sampai Semarang. Ia bahkan sempat indekos hingga berbulan-bulan di Jogja untuk fokus menjalani pengobatan alternatif.
"Saya divonis buta karena gangguan syaraf oleh dokter. Jadi tidak bisa sembuh jika tidak ada yang mau mendonorkan syaraf. Bukan donor mata ya, tapi donor syaraf. Ini hampir tidak mungkin ada yang mau," tuturnya.
Pengobatan ini membutuhkan biaya tidak sedikit. Oleh sebabnya dengan terpaksa ia menjual segala aset yang ia miliki termasuk rumah yang berada di tepi jalan. Tak hanya itu, peralatan pewayangan kesayangannya pun tak luput dari aset yang relakan lepas ke tangan orang lain.
Usaha tidak akan mengkhianati hasil rupanya tak berlaku untuk kondisinya saat itu. Ikhtiarnya hampir dikatakan sia-sia. Penglihatannya memutih seluruhnya. Kehidupannya saat itu berubah 180 derajat. Semangatnya untuk pentas sudah tidak ada lagi.
Titik Balik
Beberapa tahun belakangan, ia akhirnya memutuskan bergabung ke organisasi Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kabupaten Banyumas. Disitulah awal mula titik balik kehidupannya. Rekannya yang sesama penyandang disabilitas tunanetra membuat semangat Suwandi tumbuh kembali.
"Saya sekitar delapan tahun vakum pentas. Baru pentas lagi beberapa minggu kemarin di Tambaksogra," jelasnya.
Tentu saat ini dengan kondisi yang berbeda. Peralatan pewayangan yang digunakan didapat dari sewa di sebuah sanggar di Kabupaten Purbalingga. Ia merintis karir dari awal dengan gelar dalang tunanetra.
"Ibaratnya sekarang saya sedang merintis karir lagi. 'Trukah' dari nol dengan modal pengalaman yang saya punya sebelum kondisinya seperti ini," katanya.
Sejak tunanetra, ia mengaku sudah pentas sebanyak tiga kali. Pertama dan kedua ia lakukan di Desa Kedungbeda dan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga. Dan yang terakhir belum lama ini di Tambaksogra, Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas.
Ia mengaku tidak terlalu kesulitan beradaptasi. Menurutnya jika sudah memiliki dasar dan hafal cara memegang wayang akan mudah mengikuti alur cerita. Bahkan, ia tidak perlu latihan khusus sebelum pentas.
"Sejak tidak bisa melihat, saya tidak butuh adaptasi lama. Karena dasar pokoknya sudah bisa. Cerita pewayangan, itu saya semuanya bisa. Karena kalau cerita pewayangan itu dasarnya seperti manusia. Dari lahir, hidup dan mati," ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengajak rekannya sesama penyandang tunanetra untuk mengiringinya saat pentas. Tujuannya, agar mereka bisa kesibukan dan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
"Saya mengajak teman-teman disabilitas lainnya, yang megang orgen dan wirosworonya tunanetra. Saya ingin mengajak teman yang lain, agar teman-teman ada kesibukan," jelasnya.
Dalam sekali pementasan ia mematok tarif yang cukup terjangkau. Karena pemain musik yang mengiringi lebih ringkas dibandingkan dengan pentas pewayangan lainnya. Juga itung-itung mencari pangsa pasar terlebih dahulu.
"Kalau pementasan sederhana cukup pakai orgen, drum dan lainnya tarifnya Rp10 juta, wayang dan sound dari saya semua. Kalau yang lengkap Rp20 juta. Kalau tanggapan wayang yang standar kan bisa sampai Rp40 juta," ujarnya.
Saat ini kesibukannya selain mendalang, ia lakukan untuk jual beli motor bekas. Namun untuk yang satu ini ia membutuhkan bantuan orang lain, entah itu dari anaknya atau tetangganya.
"Kalau mesin motor saya masih bisa mendengar, tahu kondisi motor yang bagus atau tidak. Tapi kalau fisik motornya saya biasanya dibantu anak atau teman karena tidak mungkin dilakukan sendiri," tutupnya.
Ia saat ini tengah menyiapkan pementasan terdekat pada Bulan Oktober esok di Kecamatan Ajibarang. Selain itu, ia rencananya juga akan mengisi acara pada peringatan hari Disabilitas Bulan Desember mendatang.
Kontributor : Anang Firmansyah