Beberapa tahun belakangan, ia akhirnya memutuskan bergabung ke organisasi Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kabupaten Banyumas. Disitulah awal mula titik balik kehidupannya. Rekannya yang sesama penyandang disabilitas tunanetra membuat semangat Suwandi tumbuh kembali.
"Saya sekitar delapan tahun vakum pentas. Baru pentas lagi beberapa minggu kemarin di Tambaksogra," jelasnya.
Tentu saat ini dengan kondisi yang berbeda. Peralatan pewayangan yang digunakan didapat dari sewa di sebuah sanggar di Kabupaten Purbalingga. Ia merintis karir dari awal dengan gelar dalang tunanetra.
"Ibaratnya sekarang saya sedang merintis karir lagi. 'Trukah' dari nol dengan modal pengalaman yang saya punya sebelum kondisinya seperti ini," katanya.
Baca Juga:Kronologi Penangkapan Sindikat Penimbun BBM Bersubsidi di Banyumas, Ribuan Liter Solar Disita
Sejak tunanetra, ia mengaku sudah pentas sebanyak tiga kali. Pertama dan kedua ia lakukan di Desa Kedungbeda dan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga. Dan yang terakhir belum lama ini di Tambaksogra, Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas.
Ia mengaku tidak terlalu kesulitan beradaptasi. Menurutnya jika sudah memiliki dasar dan hafal cara memegang wayang akan mudah mengikuti alur cerita. Bahkan, ia tidak perlu latihan khusus sebelum pentas.
"Sejak tidak bisa melihat, saya tidak butuh adaptasi lama. Karena dasar pokoknya sudah bisa. Cerita pewayangan, itu saya semuanya bisa. Karena kalau cerita pewayangan itu dasarnya seperti manusia. Dari lahir, hidup dan mati," ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengajak rekannya sesama penyandang tunanetra untuk mengiringinya saat pentas. Tujuannya, agar mereka bisa kesibukan dan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
"Saya mengajak teman-teman disabilitas lainnya, yang megang orgen dan wirosworonya tunanetra. Saya ingin mengajak teman yang lain, agar teman-teman ada kesibukan," jelasnya.
Baca Juga:Ratusan Pengemudi Ojol di Purwokerto Turun ke Jalan, Tuntut Tarif Operasional Naik
Dalam sekali pementasan ia mematok tarif yang cukup terjangkau. Karena pemain musik yang mengiringi lebih ringkas dibandingkan dengan pentas pewayangan lainnya. Juga itung-itung mencari pangsa pasar terlebih dahulu.
"Kalau pementasan sederhana cukup pakai orgen, drum dan lainnya tarifnya Rp10 juta, wayang dan sound dari saya semua. Kalau yang lengkap Rp20 juta. Kalau tanggapan wayang yang standar kan bisa sampai Rp40 juta," ujarnya.
Saat ini kesibukannya selain mendalang, ia lakukan untuk jual beli motor bekas. Namun untuk yang satu ini ia membutuhkan bantuan orang lain, entah itu dari anaknya atau tetangganya.
"Kalau mesin motor saya masih bisa mendengar, tahu kondisi motor yang bagus atau tidak. Tapi kalau fisik motornya saya biasanya dibantu anak atau teman karena tidak mungkin dilakukan sendiri," tutupnya.
Ia saat ini tengah menyiapkan pementasan terdekat pada Bulan Oktober esok di Kecamatan Ajibarang. Selain itu, ia rencananya juga akan mengisi acara pada peringatan hari Disabilitas Bulan Desember mendatang.
Kontributor : Anang Firmansyah