Kisah Kaum Beku Peristiwa 1965 di Magelang, Dihukum Berendam di Parit Tengah Malam

Kebanyakan mereka dicap sebagai anggota PKI atau organisasi underbow-nya tanpa melalui penyelidikan dan pengadilan yang valid.

Ronald Seger Prabowo
Sabtu, 01 Oktober 2022 | 09:52 WIB
Kisah Kaum Beku Peristiwa 1965 di Magelang, Dihukum Berendam di Parit Tengah Malam
Rumah bekas kantor Kecamatan Sawangan di Dusun Ngaglik Atas, Desa Sawangan, Kecamatan Magelang. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Kabar meletusnya pemberontakan G30S tahun 1965 di Jakarta, datang terlambat ke Desa Krogowanan. Mengawali penangkapan massal terhadap mereka yang dicap terlibat PKI.

Sarmidi baru duduk di bangku kelas IV SD saat mengetahui teman-temannya mendadak dilarang masuk sekolah. Desas-desus mereka dilarang sekolah karena orang tuanya terlibat Barisan Tani Indonesia atau Gerwani.

“Disini (penduduk) hampir mayoritas anggota BTI atau Gerwani. Waktu kejadian tidak ada warga yang lari. Tapi orang-orang itu ya hatinya ada yang was-was atau khawatir,” kata Sarmidi saat ditemui di rumahnya di Dusun Tlatar, Krogowanan, Magelang.

Kaum “beku”. Begitu istilah untuk orang-orang yang dituding tersangkut partai palu arit.

Baca Juga:Cerita 137 Tahanan PKI Mempawah yang Diselimuti Wajah Ketakutan

Kebanyakan mereka dicap sebagai anggota PKI atau organisasi underbow-nya tanpa melalui penyelidikan dan pengadilan yang valid.

Sama seperti kebanyakan warga sekampungnya, Sarmidi kecil tidak paham betul apa itu BTI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Baru belakangan dia paham organisasi itu terkait Partai Komunis Indonesia.

Barisan Tani setahu Sarmidi kecil adalah sekelompok orang di kampung yang sering saling bantu menggarap sawah atau ikut gotong royong membangun rumah. Mereka loyal dan solid antara sesama anggota.

“Istilahnya untuk mempermudah atau meringankan kita saat akan mengolah tanah atau sambatan (gotong royong). Harus ada kelompok itu.”

Mayoritas warga kampung ikut kegiatan BTI karena ikut-ikutan atau mencari aman saja. Tidak sedikit anggota Barisan Tani orang-orang terpandang dan memiliki pengaruh di desa.

Baca Juga:Digelar Malam Ini! Bupati Karanganyar Wajibkan Seluruh OPD Nonbar Film G30S/PKI

“Kalau sudah ada kelompok itu ya (warga lain) ora wani melu-melu. Padahal ikut juga nggak apa. Tapi kalau sudah masuk kelompok itu ya jadi anggota.”

Sebelum peristiwa 1965, PKI serta wadah sayap politik dibawahnya bukan organisasi terlarang. Tidak aneh jika kemudian banyak warga kampung yang menggabungkan diri di dalamnya.  

Pada Pemilihan Umum tahun 1957 (di Jawa Tengah terselenggara tahun 1958), secara nasional Partai Komunis Indonesia meraih 27 persen suara dukungan. Jumlah itu melonjak dari Pemilu tahun 1955, dimana PKI hanya mendapat 16,4 persen suara.

PKI berhasil mengungguli perolehan suara partai saingan terdekatnya: Masyumi, NU, dan PNI. Jumlah suara pendukung Masyumi dan NU turun masing-masing menjadi 20,9 persen dan 18,4 persen.

Jumlah suara dukungan rakyat terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI) juga turun drastis menjadi 20,8 persen, dari 22,3 persen pada Pemilu 1955.

Strategi PKI meraih hati rakyat melalui sejumlah program politiknya berhasil menjaring sejumlah besar suara dukungan.

Hukuman Berendam di Parit

“Bapak saya juga ikut gerakan-gerakan ya macul. Persatuan. Seakan-akan di sini guyub rukun. Tapi tidak masuk ke organisasi itu (Barisan Tani Indonesia),” kata Sarmidi.

Orang tua Sarmidi secara sub kultur menjalankan akidah ahlusunnah wal jamaah. Meski mayoritas warga sekitaran Krogowanan ikut masuk BTI dan Gerwani, sebagian lainnya tetap manut pada ajaran ulama setempat, Kiai Haji Jamil.

“Kami berpegang teguh pada ajaran Kiai Haji Jamil, Sawangan. Mbah Kiai Jamil yang sepergertian saya sejak awal mengelola jamaah sini. Sehingga akhir-akhir itu terjadi geger PKI.”

Operasi pembersihan PKI di Kecamatan Sawangan terjadi beberapa bulan setelah Gerakan 30 September gagal melakukan kudeta di Jakarta. Sayang Sarmidi tidak bisa menyebutkan kapan tepatnya operasi pembersihan PKI di desanya itu dimulai.     

Operasi penangkapan orang-orang yang diduga tersangkut PKI, diawali dengan penggeledahan rumah oleh anggota ABRI. Pemeriksaan rumah-rumah biasanya dilakukan pada pagi buta setelah warga turun shalat Subuh.    

“Setelah beberapa bulan kemudian ada pengeledehan senjata tajam dari aparat negara. ABRI waktu itu. Turun Subuh itu langsung masuk ke rumah-rumah.”

Targetnya adalah senjata tajam yang terutama disimpan oleh para tokoh yang diduga sebagai pentolan Barisan Tani, Pemuda Rakyat, atau Gerwani.

“Di sini ada seorang tokoh yang nanti akan dijadikan apa begitu. Dijadikan lurah bilamana itu (PKI) menang. Cuma sekilas pengertian saya seperti itu.”

Dari penggeledahan rumah, operasi pembersihan PKI meningkat menjadi penangkapan. Mereka yang diduga anggota organisasi underbow PKI didata dan digelandang ke kantor kecamatan untuk diinterogasi.

Selain diinterogasi mereka juga dihukum berendam di parit dalam di depan kantor Kecamatan Sawangan. Kantor kecamatan saat itu masih menumpang di rumah milik Harto Suandar, seorang tuan tanah di Dusun Ngaglik Atas.

“Di depan rumahnya itu kan ada selokan dalam. Orang-orang yang dijemput (dari desa-desa di Sawangan) itu dikungkum di situ. Malam hari.”

Sarmidi mengaku tidak mengetahui secara langsung saat orang-orang “beku” dari sejumlah desa itu digelandang untuk dihukum berendam di kantor kecamatan.

Rekaman kejadian itu didapatnya dari cerita getuk tular, mulut ke mulut para teman-temannya yang pernah melihat orang-orang dibawa ke kantor kecamatan.

Selain tentara, penangkapan warga juga melibatkan personel Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR). Sesekali Pemuda Marhaen yang bernaung dibawah PNI ikut dalam penggeledahan dan penangkapan orang-orang PKI.

“Bersama pemuda-pemuda. Yang merah-merah itu (yang dimaksud Pemuda Marhaen-PNI). Istilahnya jaman itu ‘pedet-pedete’,” kata Sarmidi.

Sekilas OPR dan Pemuda Marhaen-PNI

Organisasi Perlawanan Rakyat dibentuk pemerintah tahun 1949. Saat usia Republik masih muda, banyak meletus pemberontakan di daerah.  

Pemerintah merasa perlu membentuk organisasi keamanan berbasis rakyat yang tugasnya membantu memadamkan pemberontakan itu.

Pada perjalanannya, OPR berkembang menjadi satuan Pertahanan Sipil (Hansip) yang kemudian tergabung dalam Lembaga Keamanan Masyarakat Desa.

Sebagai saingan politik -dalam rebutan kursi di Dewan maupun secara ideologis- PNI punya kepentingan memberangus gerakan PKI.

Meski Presiden Soekarno sebagai salah satu tokoh dan pendiri PNI bersikap lunak pada PKI, gesekan massa di tingkat akar rumput partai berlambang kepala banteng di tengah segi tiga ini cukup panas terhadap PKI.

Keterlibatan PNI dalam pemberantasan PKI sering disebut ambigu. Di satu sisi banyak kader yang terlibat aktif menangkap anggota Partai Komunis, tapi di sisi lain beberapa anggotanya -PNI kiri- ada juga yang dituduh tersangkut PKI.  

Di Jawa hingga Bali, kader PNI yang terlibat pembersihan anggota Partai Komunis Indonesia, diidentifikasi kerap mengenakan atribut kaos berwarna hitam saat sedang melancarkan aksi.

Selebaran dari Helikopter

Berita soal terjadinya percobaan pemberontakan PKI di Jakarta, baru diterima “resmi” masyarakat Sawangan beberapa bulan setelah September.

Gepokan selebaran berisi doktrin bahwa Partai Komunis Indonesia pimpinan DN Aidit terlibat pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya, dijatuhkan dari helikopter.

Sarmidi dan teman-temannya berebut memunguti selebaran yang terserak di areal sawah. “Isinya ya berita ada meletusnya G30S itu. Tapi saya juga belum terlalu pintar baca. Belum sampai (pikirannya).”

Kertas-kertas itu disebar agar rakyat dimana-mana tahu bahwa telah terjadi upaya pemberontakan PKI di Jakarta. “Orang-orang yang pulang dari pasar di Kidul Talaman pada minta selebaran itu. ‘Dik kulo nyuwun dik’,” kata Sarmidi.

“Mboten wong niki saking Pak Presiden dikei kulo (tidak ini dari Presiden dikasihkan saya). Nek njenengan ajeng nyuwun tapi tumbas (Kalau anda mau tapi beli). Ya dibeli. Dari anak-anak kecil dibeli berapa rupiah itu.”

Melalui selebaran itu barulah menjadi terang, mengapa para anggota maupun simpatisan Barisan Tani Indonesia, Gerwani, dan Pemuda Rakyat banyak yang ditangkapi.

Tokoh Dibuang ke Pulau Buru

Menurut Sarmidi dari hasil pemeriksaan para simpatisan PKI di Kecamatan Sawangan, sebagian besar dilepas. Hanya 2 orang yang diciduk serta dibuang ke Pulau Buru.   

Mbah Darmo dan Suprapto Miharjo sempat ditahan antara 5 sampai 10 tahun di Pulau Buru. “Berhubung orang-orang itu kelas berat. Setelah disurvei ada tak-tik politiknya mereka yang dimasukan ke rakyat (menghasut rakyat) akhirnya ada yang ditahan.”

Simpatisan PKI baik yang sempat ditahan maupun yang tidak, kemudian kembali berbaur hidup di masyarakat. Banyak dari mereka mencari perlindungan menjadi jamaah mushola yang dibina Kiai Jamil.   

“Orang-orang yang terlibat itu (bekas anggota PKI), istilahnya di-beku. Terbeku. Itu podo mlayu nang langgar. Ibaratnya kalau hujan, mereka ikut ngeyup di situ.”

Kiai Jamil rutin memimpin shalat Jumat di Dusun Tlatar sambil membina warga kampung. Termasuk mereka para eks simpatisan PKI.

“Hadir ke sini setiap Jumat. Dari rumah mungkin pukul 9 jalan kaki. Sampai sini pukul 11 istirahat. Pakai tongkat. Sudah sepuh tapi gigih. Membimbing Jumatan di sini.”

Para eks simpatisan PKI juga ikut membantu membangun mushola. Dari yang semula hanya berdinding gedek, dibangun menjadi tembok. Mereka turut mengangkut batu untuk membangun mushola.

Setelah mushola selesai dibangun dan situasi politik berangsur normal, ada jamaah eks simpatisan PKI yang tidak lagi ikut kumpulan di mushola. Tapi tidak sedikit juga yang melanjutkan belajar agama kepada Kiai Jamil.

“Ada yang lari meninggalkan ibadah di mushola, tapi ada juga yang berlanjut. Keuntungannya tadinya mushola masih gedek, terus jadi tembok. Itu yang mimpin jamaah ya Mbah Kiai Jamil itu.”

Seorang Indonesianist, Robert Cribb menyebut pertanyaan paling sulit dijawab terkait peristiwa 1965, adalah menentukan seberapa penting inisiatif dan peran tentara dalam mempengaruhi ketegangan lokal.

Jawaban dari pertanyaan itu dapat menentukan apakah kejadian -penangkapan dan pembunuhan- merupakan kekerasan spontan yang bersifat horizontal “tetangga membunuh tetangga”.

Atau merupakan kekerasan birokratik yang vertikal: negara membunuh warganya sendiri.

Apakah peristiwa 1965 merupakan ekses kekerasan chaotis ketika rakyat mengamuk dan melakukan aksi balas dedam terhadap anggota PKI. Atau genosida politik yang terorganisir, atau paduan keduanya.

Kecendrungan pakar sejarah menyimpulkan bahwa kekerasan terjadi oleh gabungan personalia tentara dengan milisi sipil dengan peran yang berbeda-beda di tiap daerah.

Kekerasan itu menggelembung dan berubah menjadi tsunami pembantaian tak terbendung. Sejarah pahit yang tidak banyak orang mau kembali menengoknya.  

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini