SuaraJawaTengah.id - Pengamat Politik dan pendiri Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Profesor Saiful Mujani menyebut agama ikut menentukan pemilih dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada 2024 mendatang.
Hal itu diungkapkan pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ yang bertajuk ”Agama Penting bagi Pemilih di Pilpres?” Program ini disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, pada Kamis (13/10/2022).
Ia menyampaikan bahwa sudah menjadi semacam keyakinan umum di masyarakat bahwa agama begitu penting mempengaruhi perilaku politik warga, baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif.
Bahkan ada yang menganggap agama adalah yang terpenting dari semua faktor yang bisa mempengaruhi perilaku warga dalam pemilihan umum.
Baca Juga:Pantas Saja NasDem Terus 'Dihajar', Pengamat: PDIP Sudah Tahu Anies Baswedan Bakal Menang
Dua tahun terakhir (2021 – 2022), SMRC memiliki serangkaian observasi melalui survei nasional. Hasil survei tersebut digabungkan sehingga memiliki sample yang sangat besar, 8319.
Pemilihan Presiden
Data ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan presiden, ada perbedaan signifikan secara statistik antara perilaku politik pemilih Islam dan non-Islam.
Saiful menjelaskan bahwa perbedaan yang signifikan secara statistik artinya bahwa adanya perbedaan itu penting atau riil ada di masyarakat. Proporsi warga yang beragama Islam sekitar 87,5 persen dan yang beragama selain Islam sekitar 12,5 persen.
Data survei SMRC 2 tahun terakhir menunjukkan orang Islam cenderung memilih Anies Baswedan dibanding pemilih non-Muslim. Ada 24 persen dari tota pemilih Muslim yang mendukung Anies Baswedan, sementara yang non-Muslim hanya 17 persen.
Baca Juga:Sebut Puan Simbol Partai, PDIP Belum Tentukan Sinyal Ganjar Jadi Capres 2024
"Perbedaan 24 dan 17 persen itu sangat signifikan, tidak bisa diabaikan," jelas Saiful.
Hal yang sama terjadi pada Prabowo Subianto. Ada 33 persen pemilih Muslim yang memilih Prabowo Subianto dan yang non-Muslim 23 persen.
Sementara pada Ganjar Pranowo, selisih proporsi pemilih Muslim dan non-Muslim yang mendukungnya kecil bahkan ada kecenderungan proporsi pemilih non-Muslim lebih besar dibanding yang Muslim.
Ini menunjukkan bahwa kecenderungan mengakomodasi pemilih dari kalangan minoritas lebih besar pada Ganjar Pranowo.
Berdasarkan data ini, Saiful menyimpulkan bahwa agama penting dalam pemilihan presiden. Jika calonnya hanya Anies, Ganjar, dan Prabowo, pemilih non-Islam cenderung pada Ganjar. Ada 32 persen pemilih non-Muslim yang mendukung Ganjar, Prabowo 23 persen, dan Anies 17 persen.
"Di kelompok non-Muslim, pemilih Anies hanya separuh dari pemilih Ganjar," kata Saiful.
Sementara pemilih dari kalangan Islam terdistribusi hampir merata pada semua calon. Anies mendapatkan 24 persen suara warga Muslim, Ganjar 28 persen, dan Prabowo 33 persen. Masih ada 15 persen yang belum menentukan pilihan.
"Yang membuat berbeda dan penting adalah bahwa yang non-Muslim cenderung pada Ganjar, sementara pemilih Muslim terdistribusi hampir merata pada semua calon," jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Terbukti secara empiris bahwa latar belakang agama penting dalam pemilihan presiden. Karena itu, dalam proses pencalonan presiden, faktor agama tidak bisa diabaikan.
Saiful melanjutkan bahwa populasi Islam di Indonesia sangat besar. Karena itu kalau ada calon yang tidak beragama Islam, akan sangat susah untuk mendapatkan suara. Kenapa proporsi dukungan warga Muslim pada Anies, Ganjar, dan Prabowo tidak terlalu berbeda, karena calonnya semua beragama Islam.
Pemilihan legislatif
Sementara dari pemilih partai, secara umum pemilih yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam juga memiliki perbedaan yang signifikan dalam menentukan pilihan partai politik.
Pemilih PKB hampir semuanya beragama Islam. 10 persen pemilih Muslim mendukung PKB, yang non-Muslim hanya 1 persen. Komposisi dukungan suara PKB yang hampir semuanya dari kalangan Islam berbanding terbalik dengan PDIP. PDIP didukung 22 persen dari pemilih Muslim, yang non-Muslim 48 persen.
Saiful menjelaskan bahwa walaupun porporsi dukungan kalangan non-Islam pada PDIP lebih besar, tapi dukungan dari kalangan Islam juga sangat besar, yakni 22 persen dari total pemilih yang beragama Islam.
Sementara Gerindra mendapatkan dukungan 11 persen pemilih Muslim, 4 persen non-Muslim. Golkar Muslim 11 persen, non-Muslim 8 persen. Nasdem 3 persen Muslim, 6 persen non-Muslim. PKS 5 persen Muslim, 0 persen non-Muslim. PPP 3 persen Muslim, 0 persen Non-Muslim. PAN 2 persen Muslim, 1 persen non-Muslim. Sementara Demokrat 7 persen Muslim, 4 persen non-Muslim. Partai-partai lain mendapatkan dukungan pemilih Muslim 4 persen dan 5 persen pemilih non-Muslim.
Saiful menyimpulkan bahwa dari sisi pemilih non-Muslim, PDIP mendapatkan proporsi dukungan yang jauh lebih besar dibanding dengan partai-partai lain.
"PDIP versus the rest. Kalau PDIP tidak ada di sana, kemungkinan suara pemilih non-Islam akan terdistribusi atau menyebar pada semua partai lain," kata Saiful.
Saiful melihat bahwa PDIP memiliki nilai khusus, mungkin karena alasan historis, yang membuat partai ini mampu menyerap aspirasi dari pemilih non-Muslim.
"Dalam Pemilu legislatif, dalam hal PDIP versus lainnya, perbedaan agama sangat penting dan tidak bisa diabaikan," kata penulis buku Muslim Demokrat tersebut.
Karena itu, lanjut Saiful, jika PDIP melakukan kesalahan atau kebijakan yang sensitif terhadap non-Muslim, maka akan lebih mudah bagi para pemilih non-Muslim untuk pergi dari partai ini. Karena pemilih non-Muslim terpusat atau terkonsentrasi pada PDIP.
Yang ideal, menurut Saiful, adalah bahwa pemilih non-Muslim tidak berkumpul di satu partai, PDIP. Jika suara kelompok non-Muslim itu tersebar secara proporsional pada semua partai, itu artinya agama bukan faktor yang berpengaruh dalam pilihan warga. Tapi data menunjukkan sebaliknya. Kenyataannya agama memiliki pengaruh.
"Faktor agama tidak bisa diabaikan, walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi warga dalam pilihan politik," pungkasnya.