SuaraJawaTengah.id - Diujung timur Kota Semarang terdapat klub amatir tertua yang masih aktif membina sepak bola usia dini. Klub bernama Sport Supaya Sehat (SSS) itu ternyata turut menginisiasi lahirnya PSIS Semarang. Bahkan usianya lebih tua dari federasi sepak bola Indonesia, PSSI.
Saya mencoba menelusuri jejak sejarah SSS dengan bertemu Samsuri di lapangan Sidodadi, Selasa (1/8). Lelaki berusia 67 tahun itu membenarkan kalau SSS adalah klub tertua di Kota Lunpia.
"Betul (klub tertua) informasinya saya mengacu pada lembaran arsip ini," kata Samsuri sembari menyodorkan lembaran kertas berisikan sejarah berdirinya SSS.
Berdasarkan arsip tersebut diceritakan penggerak berdirinya SSS seorang guru sekaligus atlet lari ternama tanah air bernama Erling. Dia selalu menganjurkan pemuda Semarang khususnya di wilayah timur untuk giat berolahraga.
Baca Juga:Tak Ingin Terkena Sanksi Lagi, Bos PSIS Semarang Minta Para Suporter Jangan Datang di Laga Away
Lambat laun, pemuda-pemuda yang gemar berolahraga itu kemudian mendirikan klub sepak bola 'Tot Ons Doel' yang artinya kurang lebih 'untuk tujuan bersama' pada tanggal 28 Mei 1928. Kemunculan tim yang dinahkodai oleh Erling itu pun mendapat sambutan positif dari masyarakat kalangan muda hingga tua.
Kebetulan saat zaman penjajahan Belanda, warga pribumi Kota Semarang tidak leluasa dalam berolahraga. Perjuangan mereka memainkan sih kulit bundar juga tidak mudah. Sebelum berlatih, mereka harus mencangkuli rumput lapangan yang panjang.
"Dulu latihan di lapangan Krakatau Jalan Dr. Cipto. Kalau sekarang tempatnya udah berubah jadi pom bensin," jelas Samsuri.
Setelah mengetahui ada klub sepal bola yang mirip dengan 'Tot Ons Doel'. Klub ini akhirnya lebih memilih mengganti nama 'Sport Supaya Sehat' sampai sekarang. Tetapi kala itu namanya masih menggunakan bahasa Belanda.
PSIS Semarang Lahir
Baca Juga:Siap Hadapi Madura United, PSIS Semarang Bawa 21 Pemain, Fortes dan Marukawa Absen
Perkembang sepak bola di Semarang Timur terus tumbuh merambah ke daerah-daerah lainnya. Banyaknya pertandingan sepak bola antar klub, ternyata menarik perhatian cendikiawan dan dokter untuk mendirikan klub yang mengatasnamakan Kota Semarang.
Dua tahun pasca SSS berdiri, terbentuklah sebuah klub yang menjadi indentitas masyarakat Kota Atlas bernama Voetbal Bond Indonesia (VIS). Sedangkan untuk home base latihan dan bermain sepak bola di lapangan karimata yang kini digunakan sebagai lokasi penyedot banjir.
SSS beserta delapan klub amatir lainnya turut berjasa atas berdirinya VIS. Tak lama setelah itu, berdirilah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tanggal 19 April 1930. Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 18 Mei 1932, VIS berganti nama menjadi Persatuan Sepakbola Semarang (PSIS).
"Banyak jebolan SSS yang memperkuat PSIS Semarang. Latihannya tiga kali dalam seminggu di lapangan sidodadi. Untuk pembinaan kita menekankan ke passing dan kontrol. Kalau heading dan shotting hanya 20 persenan," imbuh Samsuri.
Samsuri melanjutkan saat ini SSS bisa dibilang sebagai klub favorit yang banyak diminati anak-anak Kota Semarang. Tercata dari kelompok umur 6-20 tahun terdapat 320 anak-anak yang mengikuti pembinaan sepak bola di SSS.
Setiap bulannya anak-anak yang mengikuti latihan sepak bola di SSS harus membayar SPP setiap bulannya sebesar Rp150 ribu. Samsuri juga berkomitmen ingin mencetak pesepak bola yang handal agar setiap tahunnya ada yang tembus ke PSIS Semarang.
"Pola pembinaannya dibawah delapan tahun nggak boleh dimarahin. Dia masih tahap pengenalan. Jadi kita buat mereka senang dulu. Kalau diatasnya baru boleh sedikit dikasih pressure," ungkap Samsuri.
Tempat Menggapai Mimpi
Kini SSS bukan sekedar tempat untuk bermain sepak bola. SSS tempat bagi anak-anak di Kota Lunpia untuk mengejar impian menjadi pesepak bola.
"Anak saya sedari kecil memang cita-citanya pengen jadi pemain bola. Ini udah dua tahun latihan di SSS. Sebagai orang tua hanya bisa mendukung keinginan anaknya," tutur salah satu orang tua siswa SSS, Suwarni.
Perempuan berusia 38 tahun tersebut sampai terharu ketikanya anaknya terbang ke Jakarta dan mengikuti kompetisi Piala Bergilir Ketum KONI Pusat IV 2023. Meski SSS tidak mampu menjuarai kompetisi tersebut, Suwarni tetap dengan perjuangan anaknya.
"Saya bangga banget karena anak saya telah memberikan yang terbaik. Posisi anak saya sebagai center back. Idoalnya Lionel Messi," tutur Suwarni.
Sedangkan salah seorang pelatih Taufan Setiadi, mengatakan untuk menjadi pesepak bola bakat saja tidak cukup. Anak-anak harus rajin latihan dan banyak bertanding untuk jam terbang.
Selama melatih anak-anak U-10, Taufan fokus pada latihan dasar passing dan kontrol. Dia juga menilai bibit-bibit anak usia dini di Kota Semarang cukup berbakat.
Namun, sepengalamannya, anak-anak SSS belum mampu mengatasi persoalan mental. Padahal saat bertanding, lawan soal kalah mental mendengar nama besar SSS.
"Mental dibenahi, mentalmu dibenahi. Musuhnya mental itu susah, karena lawannya diri kamu sendiri," tukas Taufan.
Kontributor: Ikhsan