Lelaki yang akrab disapa dengan Arief itu menceritakan pada tahun 1.600 Kampung Basahan termasuk Sekayu secara geografis sangat berdekatan dengan laut.
"Seperti yang ditulis Nh. Dini dalam sebuah novelnya. Dulu belakang rumah (Nh. Dini) di Sekayu adalah laut dan dikelilingi persawahan," kata Achmad Arief.
Arief mengakui kalau Kampung Basahan tidak terlalu luas. Lantaran letaknya di jantung kota, rumah-rumah Kampung Basahan telah lama jadi incaran para pengusaha.
"(Kampung) Basahan hanya sekedar daerah kecil. Masyarakat dulu tidak simpatik dengan sejarah," terangnya.
Baca Juga:Mengungkap Sejarah DI/TII yang Dilupakan Lewat Ulasan Buku Karya Holk H. Dengel
Arief mengenang sebelum bangunan Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) disulap jadi Mall Paragon. Kampung Basahan kecipratan rezeki orang-orang yang datang nonton pertunjukkan Ngesti Pandawa maupun nonton bioskop.
"Setiap malam sering kali ada pasar malam. Ramainya (Kampung Basahan) berbarengan dengan ramainya gedung GRIS," katanya.
Sekitar 10 tahun ke belakang, di Kampung Basahan masih ada tujuh rumah. Bahkan anak-anak sekolah dulu sering kali desak-desakan beli minuman yang terkenal dengan sebutan "es basahan".
Hilangnya satu persatu rumah warga, kata Arief tidak tiba-tiba. Melainkan secara bertahap. Rata-rata mereka menjual rumahnya kepada pengusaha hotel.
"Terakhir yang dibeli itu warga (Kampung Basahan) yang punya toko buku. Pihak hotel pasti butuh lahan, berapa pun pasti dibeli," ungkapnya.
Baca Juga:PSIS Semarang Lepas Salah Satu Beknya ke Klub Liga 1 Lainnya
Menurut Arief, sampai sekarang masih ada warga Basahan yang rumahnya sudah dijual. Tapi masih tinggal di sekitaran situ. Walau pun dia tidurnya di emperan toko.
"(Kampung Basahan) tanah tak bertuan. Di peta Kota Semarang juga tidak terdaftar," tandasnya.
Kontributor : Ikhsan