SuaraJawaTengah.id - Orang Jawa mengenal filosofi gupuh, lungguh, dan suguh dalam menyambut tamu. Menawarkan kehangatan rumah kepada para tamu.
Gupuh artinya bersegera dalam menyambut tamu. Dalam makna yang lebih luas juga berarti bergembira menyongsong kehadiran tamu.
Tuan rumah wajib menyambut tamu dengan air muka yang berseri-seri. Menyembunyikan kegundahan hati yang mungkin menyebabkan tamu tersinggung atau merasa tidak nyaman.
Lungguh berarti menyilakan tamu untuk duduk. Dalam tradisi Jawa, duduk punya makna tersirat menempatkan seseorang pada derajat yang terhormat.
Baca Juga:Waisak 2024: Candi Borobudur Siap Jadi Tempat Ritual Keagamaan
Suguh yang berarti menyediakan hidangan kepada tamu, mengandung filosofi bahwa tuan rumah harus rela berkorban untuk orang lain.
Ada sejumlah etika terkait menyuguhkan hidangan antara lain, tamu dianggap tidak sopan menyicipi makanan sebelum disilakan. Tuan rumah wajib ikut mencicipi makanan meskipun dalam keadaan kenyang.
"Kami sudah (berusaha) semaksimal mungkin menerima tamu (biksu thudong). Suguh, gupuh, lungguh, kalau cara orang Jawa-nya," kata Takmir Masjid Baiturrohmah, Bengkal, Fatkhulrohman.
Para biksu thudong yang sedang melakukan ritus berjalan kaki menuju Candi Borobudur, sempat singgah di masjid Baiturrohmah, Bengkal, Temanggung, Minggu (19/5/2024).
Di Masjid Baiturrohmah para biksu disambut hangat layaknya tamu agung. "Saya merasa kedatangan tamu istimewa. Menurut orang Buddha itu kan (thudong) ibadah yang istimewa (perjalanan) ke Borobudur."
Baca Juga:Nasib Usaha Titipan Motor di Terminal Borobudur, Sekarang Sepi Dulu Cukup untuk Biaya Anak Kuliah
Awalnya Perwakilan Umat Buddha Indonesia sebagai panitia perjalanan biksu thudong, mengirim surat kepada pemerintah Desa Bengkal dan takmir Masjid Baiturrohmah.
Mereka meminta izin menggunakan masjid sebagai tempat istirahat para biksu. Mereka akan istirahat sebentar, sebelum melanjutkan perjalanan ke Magelang.
"Saya tanya panitia katanya para biksu hanya istirahat, nggak ada makan-makan (di masjid). Tapi kami merasa yang ditamoni (dikunjungi tamu), tetap harus menyediakan minuman, makanan ringan secukupnya."
Sambutan Hangat untuk Biksu
Diluar dugaan, tidak hanya membantu menyuguhkan makan dan minum, warga Bengkal ternyata sangat bungah menyambut kehadiran para biksu. Mereka ikut menyambut biksu di jalan hingga ke masjid.
Biksu thudong yang merasa bahagia serta terharu karena disambut dengan sangat ramah, mendoakan warga di Masjid Baiturrohmah.
Para biksu yang sebagian besar warga Thailand mendoakan warga dengan cara Buddha. Video biksu thudong yang berdoa di pelataran Masjid Baiturrohmah sempat viral di media sosial.
"Kalau orang yang tidak tahu, dikiranya (para biksu) beribadah. Yang salah persepsi kan itu. Orang yang tidak ngerti, mengiranya masjid untuk tempat ibadah orang Buddha. Itu yang orang keliru," kata Fatkhulrohman.
Sebagai tuan rumah yang baik, warga Bengkal balik mendoakan para biksu agar selamat di perjalanan. Doa dipimpin oleh salah seorang sesepuh Desa Bengkal.
"Kalau yang pro kontra ya teko luweh to (kalau yang pro dan kontra ya dibiarkan saja). Kami niatnya menjamu tamu. Niatnya bukan terus mempersilakan beribadah. Terus mereka (para biksu) juga nggak gimana-gimana kok."
Menurut Fatkhulrohman, warga muslim Desa Bengkal bermaksud menunjukkan wajah Islam yang damai kepada para biksu. Terlebih kebanyakan biksu adalah warga luar negeri yang mungkin belum mengenal ajaran Islam yang ramah.
"Kami ingin menunjukkan Islam itu ya seperti ini. Rahmatan lil alamin. Tidak seperti yang dibayangkan orang. Apalagi (para biksu) dari luar negeri. Masak di sini mau istirahat saja disepelekan? Semampu kami (menyambut tamu). Semaksimal mungkin cara kami menerima tamu."
Sambutan hangat warga kepada para biksu thudong tidak berhenti sampai di Bengkal. Hingga tiba di Candi Borobudur para biksu terus mendapat kawalan personel Bantuan Ansor Serbaguna (Banser).
Sejak rombongan biksu thudong masuk wilayah Magelang, secara estafet personel Banser mengawal biksu di tiap kecamatan yang dilintasi. Puluhan personel dikerahkan untuk melakukan pengawalan.
"Kami mengawal dari Gerbang Kalpataru di pertigaan Blondo, Mungkid. Sekitar 17 kilometer hingga tiba di Candi Borobudur," kata Kepala Sekretariat Markas (Kasetma) Banser Kecamatan Mungkid, April.
Sebelumnya panitia Walubi meminta dukungan pengawalan kepada Satkorcab Banser Kabupaten Magelang. Mereka diminta mengawal para biksu dari perbatasan Temanggung ke Magelang.
"Kami senang sekali karena merasa dibutuhkan. Bisa membantu sesama, juga masih diperlukan oleh orang lain. Meskipun berbeda agama. Kami untuk relawan itu saling menghormati umat beragama."
Ritual Mengembara Biksu Thudong
Pemimpin rombongan biksu thudong, Bhante Kamsai Sumano Mahathera menyebut selama perjalanan 60 kilometer dari Vihara Buddha Dipa di Semarang, hingga tiba di Candi Borobudur mereka tidak pernah merasa kesepian.
Di sepanjang jalan warga masyarakat menyambut hangat kedatangan para biksu thudong. Mereka merasakan betul rasa persaudaraan yang ditunjukkan oleh warga.
"Kami itu (merasa) sangat persaudaraan. Menjadi kerukunan seperti keluarga sendiri. Memberikan semangat. Sepanjang jalan sejauh 60 kilometer (kami) tidak pernah kesepian. Kami diundang untuk mampir oleh sekolah, kecamatan," kata Bhante Kamsai.
Warga bahkan sudah menunggu di tepi jalan pada pagi buta, saat rombongan biksu thudong melintas. "Pukul 5 (pagi). Kami kaget ada masyarakat semua. Tidak disebutkan (mereka) Buddha, semua agama. Ada sebagian yang melempar bunga."
Rombongan thudong merasakan betul kasih sayang yang ditunjukkan warga di sepanjang jalan. Sekat perbedaan agama lebur berganti rasa kasih sayang sesama manusia.
"Kami tidak merasa (mengetahui) siapa yang kasih kami itu. Mereka mengasihi kami. Mulai dari kasih sendal, obat-obatan, semua dikasih ke kami. Seolah (mereka) mendukung biksu thudong sampai ke Borobudur dengan selamat."
Biksu thudong dikenal sebagai para biksu pertapa atau biksu meditasi. Mereka menghidupkan kembali tradisi Buddha Theravada yang berkaitan langsung dengan sejarah Buddha Gautama.
Praktik thudong dapat ditemui pada kitab Visuddimagga dari Buddhaghosa yang ditulis abad 5 masehi. Kitab yang berarti “Jalan Pemurnian” ini mengenalkan vinaya atau disiplin pertapaan dalam doktrin Theravada.
Tradisi thudong menekankan meditasi dan praktik pertapaan dibanding kajian ilmiah dan sastra. Kebanyakan mereka melakukan pengembaraan sebagai bentuk ritual mengenal Buddha.
Di negara asalnya India, biksu thudong umumnya hidup menyendiri di hutan-hutan. Mereka mendalami ajaran Buddha dengan cara menjauhi keriuhan duniawi.
Praktik eremitisme atau upaya mendekat pada Tuhan dalam keheningan dilakukan secara ketat pada tradisi thudong. Hingga abad 19, saat hutan di India mulai dirambah, para biksu thudong akhirnya keluar ke peradaban.
Tradisi thudong kemudian menyebar ke Thailand, Laos, Burma, dan Sri Lanka. Mereka hingga kini masih menjalani ritual pengembaraan berjalan kaki hingga puluhan bahkan ratusan kilometer.
"Kami sudah bertekad. Masing-masing biksu bertekad untuk melatih diri. Lhopha. Bahasa Phali yang artinya latihan melepaskan dari keterikatan. Itu dalam hati kami yang thudong tersebut," ujar Bhante Kamsai.
Para biksu bertekad tiba di Candi Borobudur untuk beribadah dan menyempurnakan pengetahuan tentang Buddha.
"Tujuan kami adalah naik tangga (Candi Borobudur) untuk bertemu Buddha di atas. Itu cita-cita kami dari awal. Hanya kaki saja yang butuh waktu hampir seminggu untuk sampai."
Kontributor : Angga Haksoro Ardi