Lingsir Suryo dan Pertapaan Hyang Agung: Selamat dari Ancaman Gaib Lewat Tapa Manembah Yang Maha Kuasa

Hidup kedua Lingsir Suryo: Dari teror gaib ke kedamaian di pertapaan Hyang Agung

Ronald Seger Prabowo
Minggu, 19 Mei 2024 | 12:10 WIB
Lingsir Suryo dan Pertapaan Hyang Agung: Selamat dari Ancaman Gaib Lewat Tapa Manembah Yang Maha Kuasa
Lingsir Suryo (49 tahun) menjalankan tapa di Pertapaan Hyang Agung, Candirejo, Borobudur. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Ini adalah kehidupan kedua bagi Lingsir Suryo. Setelah dia dan seluruh keluarganya nyaris tumpas jadi tumbal sosok penguasa alam gaib.

“Pernah mendengar sosok-sosok yang berkuasa di kegaiban? Keluarganya turun-temurun berhubungan dengan kegaiban itu. Dia memutuskan untuk berhenti. Akhirnya satu keluarga terancam kematian,” kata dr Wulandari Indri Hapsari.

Dokter Wulan adalah Pimpinan Pertapaan Hyang Agung, orang pertama yang menolong Lingsir serta dua orang saudaranya dari ancaman penguasa kegaiban.

“Percaya tidak percaya ya. Sejak lahir dia selalu diserang dari kegaiban. Tidak ada yang dapat menyelesaikan.”

Baca Juga:Magelang Bergemuruh! Ada Nobar Timnas Indonesia U-23 vs Uzbekistan Serentak di 17 Kelurahan

Lingsir dan kedua saudaranya datang ke Pertapaan Hyang Agung dalam kondisi ketakutan. Merasa diteror sosok gaib yang akan mencabut nyawa mereka.

Uang mereka juga sudah habis dipakai membayar orang-orang yang katanya sanggup menangkal serangan gaib. Semua percuma karena serangan masih terus datang mengancam.

Adik Lingsir yang perempuan bahkan mengalami anxiety disorder. Serangan psikis yang menyebabkan penderitanya sering dilanda kecemasan berlebihan.

Serangan juga berbentuk gangguan kesehatan yang anehnya tidak terdeteksi oleh diagnosa ahli medis.

“Dari telinga dan buang air keluar darah. Muntah darah. Dari data-data perwujudan (pemeriksaan dokter) sehat. Tapi kok tahu-tahu sakitnya begini,” kata Lingsir Suryo (49 tahun).

Baca Juga:Merapal Doa di Gua Maria Grabag, Terbuka untuk Semua Agama

Banyak keluarganya yang meninggal secara misterius. Rata-rata dinyatakan sehat oleh dokter, tapi menderita gejala sakit yang parah.

Merasa putus asa, Lingsir bersama kedua saudaranya yang tersisa memutuskan mencari pertolongan kepada praktisi pengobatan supranatural.

“Sudah banyak kejadian menimpa kami. Sakit, sembuh, sakit lagi, lewat pengobatan jalur itu (supranatural). Sampai titik mereka sudah tidak sanggup.”

Menurut dr Wulan, setelah “diberesi” Lingsir dan kedua saudaranya tidak perlu menggunakan lagi penangkal-penangkal gaib. Sia-sia saja menggunakan jasa dukun, malah menghabiskan banyak uang.

Kasus yang dialami Lingsir sulit dijelaskan secara medis. Dokter bisanya akan mendiagnosanya sebagai gejala psikis biasa.

“Kalau secara kedokteran (diagnosa) begitu. Maka nanti kalau dari kedokteran pasti dipandang ini tidak logis. Tapi kalau dari sisi kegaiban, ini memang ada,” ujar dr Wulan.

Selama seminggu menjalani pemulihan di Pertapaan Hyang Agung, kondisi Lingsir dan kedua saudaranya dipantau setiap pagi.

“Setiap pagi kami periksa masih hidup atau nggak. Proses kami ‘beresinya’ kan malam. Hari kedua sampai seminggu tanpa ‘pemagaran’ dan yang aneh-aneh, ternyata Lingsir dan adiknya selamat sampai sekarang.”

Metode pemulihan yang digunakan Pertapaan Hyang Agung adalah mengajarkan mengenal Yang Maha Kuasa melalui penerimaan kenyataan.

“Hidupmu itu lho. Jangan ke khayalan lagi. Impian, cita-cita, harapan. Itu semua khayal. Butuh kekuatan untuk menerima kenyataan. Nah itu bisa didapatkan di sini (pertapaan).”

Tunduk Kehendak Yang Kuasa

Di pelataran lahan yang luas. Tepat di ujung kelokan Kali Sileng, Candirejo, Borobudur, dr Wulandari Indri Hapsari menemui SuaraJawaTengah.id.

Pertapaan Hyang Agung saat ini mengasuh banyak siswa pertapa dari Kalimantan, Sumatera, hingga Jerman. “Kondisi sekarang banyak orang tidak mudah menerima kenyataan. Bahkan lari dari kenyataan.”

Menurut Wulan tujuan utama mendirikan Pertapaan Hyang Agung adalah menyadarkan manusia agar percaya pada pengaturan Yang Maha Kuasa.

Penyangkalan dari menerima kenyataan (menolak kehendak Maha Kuasa), menyebabkan manusia dilanda kebingungan. Stres. Kalut. Jengkel. Kecewa.

“Kita ini manusia dan (harus) percaya pada pengaturan Yang Maha Kuasa. Kenyataan ya ditompo. Nepak jagad bahasanya. Mau jalan dalam kenyataan.”

Kasus bunuh diri, terjerat narkotika, dan masalah mental lainnya muncul karena manusia menolak menerima kehendak Sang Kuasa. Pertapaan Hyang Agung mengajarkan para muridnya menerima kenyataan melalui metode tapa.

Syarat utama menjadi murid Pertapaan Hyang Agung adalah kemauan untuk menundukan 4 daya angan: Pikiran, cipta atau logika, rasa, serta karsa atau keinginan.

Keempat daya angan itu harus tunduk pada kehendak Hyang Kuasa. Sehingga yang ada hanya kesadaran yang searah dan selaras dengan kuasa Hyang Agung.

Untuk melayani siswa yang tinggal jauh, dr Wulan dan beberapa staf pengajar membimbing kelas tapa secara online. Setiap Rabu dan Jumat mereka menggelar tapa bersama di tempat masing-masing.

Pembabaran Tapa

Para siswa menerima pembabaran atau penguatan konsep hidup. Mereka nantinya akan melalui tahap pemastian hasil pembabaran dengan datang langsung ke Pertapaan.

Periode pemastian hasil pembabaran bervariasi. Siswa yang tinggal jauh seperti dari Kalimantan dan Jerman umumnya menjalani proses pemastian setahun sekali.

Siswa yang tinggal lebih dekat, bisa menjalani pemastian sebulan atau dua bulan sekali. “Secara berkala mereka akan memastikan sudah sampai mana perjalanan kesadarannya. Apakah masih kelas dasar atau sudah sampai laku.”

Tidak ada ketentuan berapa lama mereka harus tinggal di Pertapaan selama proses pemastian kesadaran. Bisa 2-3 hari, seminggu, atau bahkan sebulan, tergantung kemampuan masing-masing siswa.

Pertapaan Hyang Agung menyediakan dua pondok sederhana untuk para siswa menginap. Beberapa tidur di sawung pembabaran atau boleh juga menyewa homestay di luar Pertapaan.

Semua fasilitas di pertapaan seluas 1.500 meter ini disediakan gratis. Kebutuhan makan dipenuhi dari kantong pribadi dr Wulan.

Tapi bagi pertapa yang sudah memiliki kemampuan, dibolehkan membawa persembahan secara sukarela. “Kalau petani ya ada yang membawa cabai, terong. Untuk kehidupan bareng-bareng di sini.”

Di banyak sudut lahan ini disediakan tempat-tempat untuk sila bertapa. Semuanya menghadap ke pemandangan luas yang memungkinkan pertapa leluasa mengakses daya dari Yang Maha Kuasa.

Salah satu sudut paling nyaman adalah saung kecil yang menjorok turun ke tepian Kali Sileng. Duduk di saung ini ditemani gemericik air, terasa sangat menenangkan.

“Jadi kalau tinggal hanya sehari, jelas tidak memungkinkan untuk bisa memahami (tapa). Paling tidak tinggal 2 sampai 3 hari untuk yang pertama,” kata Wulan.

Tingkat pemahaman siswa Pertapaan dibagi dalam 3 kelas: Dasar, mijil ruh, dan laku.

Kelas dasar untuk orang-orang yang (masih) hidup dalam khayalan. Hidup dalam impian dan cita-cita yang akhirnya sulit menerima kenyataan atau nepak hidup.

“Kami pindah dari kebiasaan berkhayal itu untuk selalu melihat kenyataan. Itu masuk kelas transisi atau kelas dasar.”

Setelah dianggap lulus dari kelas dasar, siswa akan masuk kelas mijil ruh atau kelas kesadaran. “Muncul kesadaran. Melihat. Mendengar kenyataan. Tidak lagi melihat dan mendengar impiannya.”

Setelah terbiasa melihat dan mendengar kenyataan, para siswa akan mulai belajar mengambil makna hidup. Memahami pengertian dalam kenyataan yang dia alami.

Setelah mampu membaca hikmah dalam keseharian hidup, siswa dianggap lulus kelas ketiga atau kelas laku.

“Setelah lulus kelas laku, kami persilakan untuk bisa menjalani hidup. Dia sudah bisa nepak dan jalan, mengerti arah hidup itu kemana. Tidak bingung lagi menjalani hidup.”

Tapa Memperbaiki Jagad

Menurut dr Wulan, Pertapaan Hyang Agung tidak berhubugan dengan agama atau kepercayaan tertentu. Semua orang dipersilakan untuk tapa dan mengakses daya untuk menerima kenyataan di tempat ini.

“Kami tidak berhubungan dengan agama atau kepercayaan yang sekarang ada identitas. Kami (hanya) mengakui kuasa Yang Maha Kuasa. Kalau (penganut agama) mau menyebut nama, silakan.”

Bahkan ada aturan dalam pertapaan yang melarang pertapa menyinggung atau membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan atau keyakinan tertentu.

“Fokus pada Yang Maha Kuasa tapi tidak perduli namanya apa. Yang penting Yang Maha Kuasa.”

Dokter Wulan mengakui jika metode meditasi dan pergerakan tapa juga dianut oleh para penganut Buddha. Atas dasar itu tempat Pertapaan Hyang Agung dipilih tak jauh dari Candi Borobudur.

Borobudur adalah tempat untuk bersila atau tapa yang terkenal di seluruh dunia. Ada kesamaan fungsi antara pergerakan tapa dengan fungsi Candi Boroudur.

“Borobudur tempat bersila atau meditasi. Tapa kan asalnya dari Jawa. Maka kami memilih di Borobudur untuk tempat pertapaan. Sejatinya dengan tujuan tapa itu nyambung. Hubungannya hanya itu saja.”

Dokter Wulan berharap semakin banyak orang yang menjadi pertapa. Dengan begitu makan kondisi hidup di dunia akan menjadi lebih baik.

“Misi kami adalah semua menjadi pertapa. Mau tunduk kepada Yang Maha Kuasa. Otomatis Yang Maha Kuasa akan mengondisikan jagad ini lebih indah dari sebelumnya.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini