Perang Kemerdekaan di Semarang, 74 Kiai dan Santri Gugur, Kisahnya Nyaris Tenggelam

Kisah Perjuangan Para Pahlawan di Kampung Bugen Semarang jarang dikenal oleh masyarakat luas. Sedikit sekali sumber tertulis yang bisa dijadikan rujukan

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 13 Agustus 2024 | 18:34 WIB
Perang Kemerdekaan di Semarang, 74 Kiai dan Santri Gugur, Kisahnya Nyaris Tenggelam
Ponidi (57) Ketua RT 05 RW 22 Kampung Bugen, Tlogosari Kulon, Pedurungan, Kota Semarang, menunjukkan lubang bekas tembakan tentara Belanda, Senin (12/8/2024). (Suara.com/Sigit AF)

SuaraJawaTengah.id - Ponidi (57) menunjukkan lubang di papan tua yang menjadi dinding sebuah rumah. Ratusan lubang yang membekas di papan tersebut sengaja tak diperbaiki atau diganti. Ia mengandung cerita perjuangan para pahlawan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang tidak hanya heroik,  tetapi juga berdarah.

Rumah yang ditunjukkan Ponidi berada di Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang.  Rumah itu ditinggali mertunya, Musriatin (70). Ponidi sendiri merupakan Ketua RT 05 RW 22 di Kampung Bugen, Tlogosari Kulon atau lebih dikenal sebagai Kampung Syuhada.

"Di rumah ini, 74 pahlawan gugur diberondong peluru tentara Belanda," katanya, Senin (12/8/2024).

Ponidi menuturnya peristiwa tersebut terjadi pada 11 Muharam 1366 Hijriah (1946). Ketika itu para kiai dan santri dari Laskar Hizbullah dan Fisabilillah bermaksud melakukan serangan dadakan ke markas Belanda. Kampung Bugen telah dikosongan dan menjadi markas pejuang Indonesia.

Baca Juga:Dari Semarang untuk Indonesia! MilkLife Soccer Challenge Lahirkan Bibit Atlet Masa Depan

Namun, rencana penyerangan tersebut bocor ke telinggan Belanda. Desing pesawat jenis capung milik tentara musuh menggema di udara.  Sejurus kemudian, tembakan senjata datang dari berbagai arah. Pertempuran tidak imbang. Tentara musuh dibekali berbagai senjata modern, sementara tentara Indonesia hanya membawa samurai, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.

Perang yang berlangsung dari pagi hingga sore menumui puncaknya sekitar pukul 15.30 WIB. Sebanyak 74 kiai dan santri terkepung di Rumah Haji Mustofa (kekek mertua Ponidi) yang dijadikan benteng terakhir pertahanan. Mereka terpisah dari induk pasukan yang telah dipukul mundur oleh Belanda.

"Dalam keadaan tersesak itulah timbul ikrar, lebih baik mati sebagai syuhada dari pada mati konyol ditahan musuh," kata Ponidi.

Dari arah luar rumah, pasukan musuh memberondong para pejuangan dengan tembakan mitraliur dan takidanto. Setelah yakin tentara Indonesia tidak ada yang hidup, tembakan dihentikan. Jasad-jasadnya kemudian diseret dan dikuburkan secara massal di depan rumah itu.

"Belanda membuat lubang dengan lendakan dinamit dan ranjau darat, para syuhada dimasukkan ke lubang tersebut," tuturnya.

Baca Juga:Driver Online Semarang Berharap Wali Kota Baru Berpihak pada Rakyat Kecil

Ponidi menunjukkan sejumlah nama yang gugur dalam peperangan tersebut. Mereka di antaranya KH M Ma'ruf yang mantan ketua barisan kiai seluruh Jawa Tengah, Kiai Anwar dari Solo,  KH Tohar dari Boyolali, Kiai Sarju dari Kepatihan Solo, Hasan Anwar sebagai pimpinan sabilillah, dan Subakir dari Klaten yang merupakan pimpinan Hizbullah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini