THR Lebaran 2025 Jadi Mimpi Buruk: Ratusan Pekerja Jateng Gigit Jari, Sritex Terseret!

Pasca lebaran, 16 perusahaan di Jateng belum bayar THR. Disnakertrans terima 196 aduan, termasuk Sritex. Masalah klasik: lemahnya penegakan regulasi tenaga kerja.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 09 April 2025 | 21:13 WIB
THR Lebaran 2025 Jadi Mimpi Buruk: Ratusan Pekerja Jateng Gigit Jari, Sritex Terseret!
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah Ahmad Aziz. [ANTARA/Zuhdiar Laeis]

SuaraJawaTengah.id - Meski hari raya telah berlalu, sejumlah pekerja di Jawa Tengah masih belum menerima hak mereka.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mengungkapkan, hingga pekan pertama April 2025, masih terdapat sedikitnya 16 perusahaan di wilayahnya yang belum membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerjanya.

Fakta ini membuka kembali persoalan klasik yang saban tahun menghantui dunia ketenagakerjaan di Indonesia: lemahnya penegakan regulasi ketenagakerjaan.

Kepala Disnakertrans Jateng, Ahmad Aziz, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerjunkan tim pengawas untuk memeriksa langsung ke lapangan.

Baca Juga:One Way Lokal di Tol Salatiga-Kalikangkung Dihentikan: Puncak Arus Balik Lebaran 2025 Terlewati

“Di catatan kami ada 16 perusahaan yang belum membayar. Pengawas kami sedang turun, dan kalau saat pemeriksaan terbukti belum membayar, maka akan kami berikan nota pemeriksaan,” ujar Aziz dalam keterangannya di Semarang, Rabu (9/4/2025).

Namun, angka 16 perusahaan hanyalah puncak gunung es. Secara keseluruhan, Disnakertrans telah menerima 196 aduan terkait permasalahan THR dari para pekerja.

Dari jumlah itu, terdapat 143 perusahaan yang dilaporkan, termasuk dua perusahaan yang sudah dinyatakan pailit. Salah satunya adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil raksasa asal Sukoharjo yang sebelumnya dikenal sebagai ikon industri nasional.

Tak hanya persoalan pembayaran THR yang terhambat, sebanyak 48 pekerja juga mengadukan bonus hari raya (BHR) yang dianggap tidak sesuai dengan volume kerja mereka.

Pengaduan ini khususnya datang dari pekerja di lima perusahaan berbasis aplikasi, atau aplikator, yang belakangan menjadi sorotan karena status ketenagakerjaan mereka yang kerap tak jelas dan tak terlindungi.

Baca Juga:Asal-Usul Penamaan Bulan Syawal, Ternyata Berkaitan dengan Unta

Permasalahan yang diadukan oleh para pekerja pun beragam. Ada yang hanya menerima THR secara dicicil, ada yang mendapatkannya terlambat, bahkan ada pula yang belum menerima sama sekali.

Dari sisi jenis perusahaan yang diadukan, mayoritas berasal dari sektor manufaktur, yakni sebanyak 145 perusahaan, sementara sisanya terdiri dari empat institusi pendidikan, enam rumah sakit atau klinik, dan enam instansi pemerintah.

Menariknya, laporan dari instansi pemerintah justru sebagian besar datang dari para tenaga honorer. Menurut peraturan, tenaga honorer memang tidak termasuk dalam kategori pekerja yang berhak mendapatkan THR.

Hal yang sama berlaku bagi pekerja yang telah habis masa kontraknya serta mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam waktu 30 hari sebelum hari raya.

Namun, di sinilah letak ironi yang lebih dalam. Banyak dari para pelapor merasa tetap memiliki kontribusi besar bagi institusi tempat mereka bekerja, meski status mereka tidak menjamin hak yang sama.

Ketika pekerja swasta dapat mengandalkan serikat buruh atau jalur hukum, pekerja honorer di sektor publik justru terjebak dalam kekosongan perlindungan.

Kasus-kasus ini tidak hanya menggambarkan ketidaktaatan perusahaan terhadap kewajiban normatif, tetapi juga memperlihatkan kesenjangan dalam sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia.

Para pekerja yang terlibat dalam ekonomi digital, pekerja kontrak jangka pendek, hingga tenaga honorer, sering kali berada dalam posisi rentan dan kurang diperhatikan dalam kerangka hukum ketenagakerjaan.

Di sisi lain, keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan dan lemahnya sanksi terhadap perusahaan yang melanggar, menjadikan pengawasan terhadap kewajiban THR setiap tahun seperti ritual yang berulang. Sanksi administratif memang tercantum dalam regulasi, tetapi penerapannya di lapangan kerap tak tegas.

Momen pasca-lebaran semestinya menjadi refleksi bagi semua pihak—pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas—untuk memperbaiki tata kelola ketenagakerjaan. THR bukanlah bentuk kebaikan hati dari perusahaan, melainkan hak normatif yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak