Warga Ngaran menyebut kremasi Murdaya Poo sebagai ngaben Buddha karena menggunakan kayu dan dilakukan di tempat terbuka. Di luar Bali upacara ngaben jarang dilakukan. Salah satunya di Pura Jagadnatha, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul tahun 2023, ada 475 umat Hindu di Banguntapan. Sedangkan pemeluk Islam mencapai 108.146 jiwa.
Ngaben di Pura Jagadnatha pernah menjadi objek penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Angeliya Mega Melisa, Tutik Sofya, dan Maudi Farah Islamika. Penelitian dibawah pengawasan Dosen Program Doktor Politik Islam, Dr Hasse Jubba.
Kajian yang dimuat dalam “Satya Widya: Jurnal Studi Agama” Vol.4 No.2 2021, menyebutkan bahwa ngaben di Pura Jagadnatha tidak mendapat penolakan dari warga.
Baca Juga:Usai Retret di Akmil, Gubernur Jateng Langsung Tancap Gas Kerja untuk Rakyat
Warga sekitar tidak mempermasalahkan kegiatan ngaben rutinan oleh umat Hindu. Mereka menganggap sikap toleran terhadap upacara ngaben sebagai bentuk mempertahankan kerukunan umat beragama.
Warisan Ulama Magelang
“Kultur asli Magelang itu toleran. Penelitian saya, kalau asli Magelang itu orangnya toleran. Nenek moyang kita itu toleran. Pendiri Borobudur itu toleran,” kata M Fatkhan, salah seorang pengurus Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Magelang.
Menurut Fatkhan, sikap toleran orang Magelang diwarisi dari 4 ulama besar: KH Dalhar Watucongol, KH Chudlori Tegalrejo, KH Muhammad Siraj Payaman, dan KH Raden Alwi Bandongan.
Keterangan itu juga dijelaskan dalam buku “Berangkat dari Pesantren” yang ditulis oleh Prof KH Saifuddin Zuhri. Dalam memoarnya, dia menulis empat tokoh kunci umat Islam Magelang abad 19 adalah ulama-ulama yang toleran.
KH Muhammad Siraj misalnya, pernah diminta untuk menyalatkan jenazah orang non Muslim. Kiyai Siraj menyanggupi dan meminta keluarga untuk menyiapkan jenazah di rumah sekitar pukul 12 siang.
Kiyai Siraj yang datang bersama para santrinya kemudian menggelar salat 4 rakaat lengkap dengan rukuk dan sujud. Ini tidak sama dengan salat jenazah biasanya yang dilaksanakan hanya dengan berdiri dan takbir.
Ketika ditanyakan mengapa melaksanakan salat jenazah seperti itu, Kiyai Siraj menjawab bahwa ia melaksanakan salat zuhur. Kiyai Siraj tidak ingin menyakiti hati keluarga mendiang, tapi juga tidak boleh melanggar syariat.
Kisah Kiyai Siraj ini ditulis M Fatkhan dalam desertasinya “Toleransi Beragama dalam Perkembangan Interaksi Umat Islam terhadap Umat Kristiani di Magelang, 1900-1942”. “Dalam rangka pendidikan toleran. Dia (Kiyai Siraj) tidak ingin melukai hati orang non-muslim yang datang.”
Fatkhan yakin bahwa polemik penolakan kremasi ini akan berakhir damai. Atau ada jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua pihak untuk menghindari konflik.
Alternatif Kremasi di Borobudur