SuaraJawaTengah.id - Proyek ambisus percepatan pembangunan pariwisata ‘10 Bali Baru’ mulai menunjukkan dampak negatif ekologis dan ketimpangan sosial. Tantangan masyarakat sipil menggugat ilusi program yang populis.
Sejak pertama disosialisasikan tahun 2016, proyek ‘10 Bali Baru’ digadang menjadi solusi mengurangi beban wisata di Bali. Sekaligus mendorong perkembangan beberapa destinasi wisata di daerah, sehingga menjadi tujuan baru favorit para pelancong luar negeri.
Di Sumatera dan Jawa, titik yang dituju Danau Toba—UNESCO Global Geopark— Sumatera Utara; Tanjung Kelayang di Bangka Belitung; Tanjung Lesung di Banten; Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah; serta Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.
Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur proyek Bali Baru ditetapkan di Mandalika (NTB), Labuan Bajo-Pulau Komodo, serta Wakatobi dan Morotai.
Baca Juga:Polemik Tolak Rencana Kremasi Murdaya Poo di Borobudur
Dari 10 destinasi wisata ‘Bali Baru’ ini, tiga diantaranya: Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo, ditetapkan masuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Perkembangan infrastruktur pendukung pariwisata terlihat maju pesat di destinasi-destinasi wisata tersebut. Sirkuit Mandalika misalnya, untuk pertama kalinya berhasil masuk dalam seri balap motor dunia MotoGP pada musim 2022.
Minim Pemenuhan Hak Dasar
Jalan lingkar Samosir sepanjang 145,9 kilometer dibangun untuk mendukung kunjungan wisata ke Danau Toba. Kementerian PUPR juga membangun Desa Wisata Ambarita sebagai salah satu dari 10 pilot project Desa Wisata Nasional tahun 2017.
“Pembangunan yang masif di destinasi wisata tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat. Banyak warga kami tidak ada air, bahkan untuk sekadar gosok gigi,” kata Anggota Dewan Ruang Inisiatif Toba, Masro Delima Silalahi.
Baca Juga:Perjalanan Terakhir Murdaya Poo: Dikremasi Secara Tradisional di Pelataran Borobudur
Delima hadir sebagai salah satu narasumber Sarasehan Nasional bertajuk “Pariwisata Berbasis Identitas dan Budaya Lokal” di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur.
Diskusi itu diprakarsai wadah pemuda Kecamatan Borobudur, Mahajava Aksata. Mereka menggelar Festival Tridaya Mandala Borbudur untuk mendorong konsep wisata berkelanjutan yang mengutamakan sumber daya lokal.
Selain Delima, hadir juga Direktur Eksekutif Daerah Walhi Nusa Tenggara Barat, Amri Nuryadin, pendiri Flores Documentary Network (FDN), Gregorius Afioma, dan inisiator Bali Performing Arts Meeting, Wayan Sumahardika.
Mereka mewakili daerah yang menjadi objek proyek ‘10 Bali Baru’: Danau Toba, Mandalika, dan Pulau Komodo. Warga Borobudur sendiri diwakili Dwias Panghegar, pegiat kerajinan batik sekaligus Sekretaris SKMB.
Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur atau SKMB adalah paguyuban pedagang kaki lima korban penggusuran Zona II kompleks Candi Borobudur. Sebanyak 360 anggota SKMB saat ini belum mendapat hak menempati kios pengganti di Kampung Seni Borobudur (KSB) seperti yang dijanjikan.
![Sarasehan Nasional bertajuk “Pariwisata Berbasis Identitas dan Budaya Lokal” di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur Selasa (24/6/2025). [Suara.com/Angga Haksoro]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/26/57486-sarasehan-borobudur.jpg)
Jejaring Korban KSPN
Menurut Anggota Dewan Ruang Inisiatif Toba, Masro Delima Silalahi, sarasehan pada Festival Tridaya Mandala Borobudur, menjadi ajang membangun jaringan warga sesama korban proyek pariwisata prioritas nasional.
Pelaksanaan proyek ‘Bali Baru’ maupun Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tidak semulus yang dibayangkan masyarakat. Di Danau Toba misalnya, pembangunan infrastruktur pariwisata secara besar-besaran mengesampingkan kepentingan komunitas lokal.
Alih fungsi lahan, konflik kepemilikan tanah, serta meruncingnya persaingan antar pengelola wisata, mengancam kearifan lokal warga Toba.
“Kami dulu membayangkan ini akan memberi dampak baik bagi masyarakat Batak. Kami terhipnotis ilusi ‘Bali Baru’. Pengalaman kami menjadi pembelajaran bagi semuanya. Khususnya Borobudur. Karena konsep (pariwisata)-nya sama,” kata Delima.
Konsep pariwisata yang “lapar” lahan terjadi di semua kawasan proyek KSPN. Di Danau Toba misalnya, penetapan batas sempadan sungai hingga 100 meter menjadikan tepi danau sebagai kawasan yang dilindungi.
Padahal daratan di sekeliling Danau Toba tersebar permukiman penduduk, areal kebun, dan lahan penggembalaan ternak. Aturan pariwisata ini mengancam wilayah parhutaan (permukiman) yang telah ditetapkan oleh komunitas adat.
Paradigma Pariwisata Terpusat
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amri Nuryadin mengatakan, Program ‘Bali Baru’ yang menyeragamkan paradigma pariwisata, mengancam punahnya unsur budaya lokal.
Menurut Amri, pariwisata yang sentralis hanya mengedepankan kepentingan investor dan mengabaikan pengelolaan wisata berbasis masyarakat.
“Kami di Lombok ada problem. Menyeragamkan (wisata) menjadi satu konsep, satu proyek, dan satu program strategis nasional dengan istilah ‘Bali Baru’, itu menjadi keresahan kita di masing-masing daerah.”
Persaingan tidak sehat antar pelaku jasa operator pariwisata di tiga Gili: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, mulai mengarah pada konflik warga. Dulu wisata ditempat ini dikelola oleh komunitas-komunitas warga.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para pengkritisi proyek Bali Baru maupun KSPN adalah glorifikasi, bahwa program ini memberikan akan memberikan keuntungan besar bagi masyarakat.
Sikap kritis terhadap proyek pariwisata ini sering dianggap sebagai anti pembangunan daerah. Melawan kebijakan yang populis.
Pariwisata Berkeadilan
Dwias Panghegar, pegiat budaya Desa Wringinputih, Borobudur menekankan pentingnya mengelola wisata berkeadilan. Sehingga keuntungan dari bisnis pariwisata tidak hanya dinikmati oleh segelitir orang.
“Jadi ada kesempatan yang sama bagi semua komunitas atau masyarakat untuk ikut menikmati kue pariwisata. Peluang-peluang yang ada itu bisa di-share semua ke masyarakat.”
Gerakan membangun pemahaman mengenai pariwisata berkeadilan coba dibangun melalui komunitas Mahajava Aksata yang mewadahi pemuda dari 20 desa di Borobudur.
Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengembangkan pariwisata yang mengedepankan identitas budaya masyarakat Borobudur. Salah satunya lewat pengolahan kopi lokal dan batik khas Borobudur.
“Kita ada batik. Terus ada kopi dan kesenian-kesenian lokal. Kita beri ruang untuk mereka tampil. Kekuatan identitas lokal ini yang nantinya kami dorong untuk terus maju.”
Berjejaring sesama warga daerah proyek KSPN menurut Dwias Panghegar menjadi penting. Belajar dari pengalaman daerah lain yang menemukan bahwa paradigma pariwisata nasional tidak melulu berbuah manis.
“Dampak KSPN ternyata tidak seperti yang didengungkan itu. Banyak masalah. Penggusuran ruang hidup, penggusuran lahan, penggusuran ekonomi. Kawasan Super Prioritas Nasional, prioritasnya itu buat siapa?”
Kontributor : Angga Haksoro Ardi