Sega Jagung dan Politik Pangan: Saat Sesuap Nasi Bukan Lagi Raja di Meja Makan

Sejarah politik pangan menjadikan nasi sebagai raja meja makan di Indonesia. Namun, kisah pembuat sega jagung di Magelang ini membuktikan bahwa ketahanan pangan tak harus nasi

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 20 Juli 2025 | 19:55 WIB
Sega Jagung dan Politik Pangan: Saat Sesuap Nasi Bukan Lagi Raja di Meja Makan
Ilustrasi hidangan nasi jagung sebagai asupan alternatif karbohidrat pengganti nasi. [ChatGPT]

Kisah Dariyah: Nasi Jagung dari Dapur Tradisional Magelang

Dariyah menanak nasi jagung di dapurnya yang sederhana di Desa Jati, Kecamatan Sawangan, Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro A).
Dariyah menanak nasi jagung di dapurnya yang sederhana di Desa Jati, Kecamatan Sawangan, Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro A).

Salah satu pembuat nasi jagung yang masih telaten menjalani usahanya adalah Dariyah. Ibu berusia 67 tahun, warga Desa Jati, Kecamatan Sawangan, Magelang ini, mengaku sejak kecil sudah akrab mengonsumsi nasi jagung.

Sejak empat tahun lalu, Dariyah mulai membuat nasi jagung untuk dijual melalui pedagang sayur keliling atau eyek. Rata-rata setiap hari ia mengolah 1,5 kilogram nasi jagung.

Sega jagung itu ia kemas dalam bungkusan kecil kertas nasi dan daun pisang. Satu bungkus nasi jagung lengkap dengan lauk ikan asin, sambal, dan kluban (urap), dijual seharga Rp2.500.

Baca Juga:Lulusan Baru Merapat! Bursa Kerja Magelang 2025 Tawarkan Peluang Emas dari Perusahaan Top

“Setiap hari saja buat sekitar 30 bungkus nasi jagung. Banyak yang suka. Paling nanti kembali lagi nggak terjual sekitar dua bungkus. Ya dimakan sendiri,” kata Dariyah sambil mengaduk aronan di dapur sederhananya.

Keuntungan dari menjual nasi jagung tidak seberapa. Selain harga jualnya yang murah, bahan baku biji jagung saat ini lumayan mahal, berkisar Rp9 ribu per kilogram. Padahal, berat biji jagung akan menyusut sekitar separuhnya setelah diolah.

“Dari 3 kilo jagung paling hanya jadi 1,5 kilo nasi jagung. Katulnya kan banyak,” jelasnya.

Proses 'Njelimet' di Balik Seporsi Sega Jagung

Ilustrasi jagung yang siap dikonsumsi. [Freepik]
Ilustrasi jagung yang siap dikonsumsi. [Freepik]

Nasi jagung buatan Dariyah tidak sesederhana proses mengukus jagung pipilan yang dicampur beras. Tahap pembuatannya lebih lama dan njelimet (rumit).

Baca Juga:Kisah Pilu dari Ngaran Krajan: Kampung Juru Kunci Candi Borobudur yang Digusur dan Dilupakan

Sebelum digiling, biji jagung direndam selama tiga hari tiga malam agar teksturnya lunak. Tepung jagung kemudian dijemur hingga kering. Tepung lantas dibasahi secukupnya dengan air sebelum dikukus sekitar 20 menit. Setelah itu, tepung jagung diangkat dan dicampur sedikit air hangat untuk dikukus kembali.

Proses membasahi tepung jagung ini diulangi dua kali hingga didapatkan tekstur nasi jagung yang kering tapi tetap pulen. “Takaran airnya pakai perasaan. Kalau air hangatnya terlalu banyak, nasinya lengket. Kalau terlalu dingin, segane anyep,” kata Dariyah berbagi rahasia.

Sri Widayati, putri sulung Dariyah, mengaku tidak sanggup meniru keahlian ibunya. “Butuh tangan orang sepuh yang sudah pengalaman biar hasil nasi jagungnya enak.”

Harapan pada Pemerintah dan Ketahanan Pangan

Ilustrasi hidangan nasi jagung sebagai asupan alternatif karbohidrat pengganti nasi. [ChatGPT]
Ilustrasi hidangan nasi jagung sebagai asupan alternatif karbohidrat pengganti nasi. [ChatGPT]

Sri hanya membantu memasarkan nasi jagung buatan ibunya, salah satunya melalui kelompok UMKM yang dibentuk oleh Pemerintah Desa Jati. Dari kelompok ini, Sri belajar mengemas nasi jagung kering dalam kemasan plastik yang dijual seharga Rp28 ribu per kilogram.

Melalui kelompok UMKM Desa Jati, Sri sering mendapat pesanan nasi jagung dari dinas pemerintah atau kepolisian. “Kebanyakan buat oleh-oleh kalau ada tamu dari dinas. Nasi jagung saja tanpa lauk.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak