SuaraJawaTengah.id - Fenomena viral pengibaran bendera 'Jolly Roger' dari anime Jepang One Piece jelang HUT Kemerdekaan RI ke-80 telah membelah opini publik. Di satu sisi, ini dipandang sebagai ekspresi kreatif dan simbol protes atas kondisi sosial politik.
Namun di sisi lain, aparat dan sejumlah pejabat melihatnya sebagai ancaman terhadap nasionalisme yang berpotensi melanggar hukum.
Di tengah perdebatan panas ini, pakar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Muhammad Fauzan angkat bicara. Menurutnya, kunci untuk membedah persoalan ini terletak pada niat atau tujuan di baliknya.
"Yang penting tujuan dari pengibaran bendera itu, jangan sampai karena punya tujuan lain yang tidak kita ketahui, kemudian menjadi persoalan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dikutip dari ANTARA pada Selasa (5/8/2025).
Prof Fauzan menegaskan bahwa dari kacamata hukum, pengibaran bendera selain Merah Putih sebenarnya tidak serta-merta bisa dipidanakan. Menurut dia, pengibaran bendera selain Merah Putih sebenarnya tidak dapat dipidanakan selama tidak ada unsur pelanggaran hukum.
Aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 lebih fokus pada tata cara perlakuan terhadap Bendera Negara, Sang Merah Putih.
Meski begitu, ia menekankan adanya aturan main yang tidak boleh diabaikan, terutama di bulan kemerdekaan. Jika memang ingin mengibarkan bendera lain, posisinya tidak boleh menodai kehormatan simbol negara.
"Posisi bendera Merah Putih harus lebih tinggi, sebagai bentuk penghargaan kepada para pejuang kemerdekaan," katanya. Aturan ini, lanjutnya, adalah wujud penghormatan dan wajib dipatuhi.
Banyak penggemar dan kalangan masyarakat menganggap bendera tengkorak bertopi jerami milik karakter Monkey D. Luffy ini sebagai simbol pencarian keadilan dan perlawanan terhadap otoritas yang menindas. Namun, Prof Fauzan mengaku heran dengan pilihan simbol tersebut.
Baca Juga:UKT Meroket Tinggi, Mahasiswa Baru Unsoed Syok: Dikira Duit Tinggal Petik Ya!
“Apakah tidak ada gambar lain sebagai simbol pencari keadilan," katanya.
Kritik simbolik ini, menurut beberapa akademisi, muncul sebagai bentuk kekecewaan generasi muda terhadap pemerintah. Fenomena ini bahkan telah menjadi sorotan media asing yang melihatnya sebagai cerminan frustrasi masyarakat terhadap sistem.
Menanggapi potensi konflik antara ekspresi warga dan respons negara, Prof Fauzan mendorong pendekatan yang lebih humanis.
Ia menyarankan aparat untuk mengedepankan komunikasi dan dialog sebelum mengambil langkah hukum. Penting untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh para pengibar bendera fiksi tersebut.
"Kalau tujuannya hanya untuk mencari keadilan, ya silakan. Tapi harus dicari maksud yang sebenarnya," kata Fauzan.