SuaraJawaTengah.id - Delapan puluh tahun silam, dentuman senjata dan ledakan mortir mewarnai hari-hari seorang remaja berusia 16 tahun di Semarang. Namanya Sochib, kini seorang kakek renta yang hidup sederhana di Demak, tepatnya di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen.
Ia adalah satu dari sedikit pejuang kemerdekaan yang masih tersisa, saksi hidup dari masa ketika Indonesia baru saja memproklamasikan diri sebagai negara merdeka.
“17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Baru dua bulan, ada gejolak. Tentara Jepang mengamuk di Tugu Muda. Waktu itu masyarakat tidak tahu penyebabnya apa, mungkin karena negaranya dibom atom,” kenang Mbah Sochib membuka cerita saat ditemui Suara.com, Jumat (15/08/2025).
Gejolak itu meletus pada 15 Oktober 1945. Pemuda-pemuda Semarang, bersenjata bambu runcing, pedang, hingga celurit, melawan pasukan Jepang yang masih bercokol. Pertempuran sengit tak terelakkan, menelan korban jiwa dari kedua belah pihak.
Baca Juga:Balas Dendam Manis! SDN Sendangmulyo 04 Juara MilkLife Soccer Challenge Usai Bantai Lawan 6-0
Saat itu pula kabar mencemaskan menyebar di kalangan warga: tentara Jepang disebut-sebut akan meracuni sumber air bersih.
Seorang dokter, dr. Kariadi, yang mencoba memeriksa kondisi air, justru ditembak mati oleh tentara Jepang. Nama Kariadi kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit terbesar di Semarang.
Namun, ancaman tak berhenti di situ. “Setelah Jepang, datang lagi tentara sekutu. Ada pasukan bernama Gorga, tentara sewaan. Mereka bikin rusuh di sini. Belanda pun masuk lagi, bonceng sekutu,” tutur Sochib.
Ketika kekuatan pemuda Semarang tak lagi mampu menahan serangan, ia bersama keluarganya mengungsi ke Demak. Namun, bapaknya tertinggal di Semarang, sementara rumahnya di kawasan Indraprasta hangus dibakar Belanda.
Dari Remaja ke Pejuang
Baca Juga:Akhir Pelarian 12 Tahun, Kejari Semarang Tangkap Adrianus Tanoto, Komplotan Sherly di Jakarta
Pada Desember 1945, di usia 16 tahun, Sochib memutuskan bergabung dengan Laskar Hizbullah Demak, bagian dari kesatuan medan tenggara di Mranggen. Ia ditugaskan di bagian perhubungan, khususnya telepon dan kode militer.
Suatu ketika, regu pengawas melaporkan pergerakan besar tentara Belanda di Pedurungan. Sochib segera melapor pada komandannya, Letnan Kolonel KH Basuni.
“Saya diminta menghubungi pasukan meriam untuk menembakkan meriam sebanyak 20 kali,” kenangnya.
Namun, Belanda membalas dengan serangan yang jauh lebih dahsyat. Malam itu, suara mortir dan tembakan senapan tak pernah berhenti.
“Saya sampai sembunyi di bak musholla. Mortir jatuh dekat saya, duar! Saya cuma bisa baca doa. Alhamdulillah selamat,” katanya lirih.
Pagi harinya, ketika pasukan di garis depan mulai mundur, Sochib tetap bertahan sesuai aturan perhubungan: tidak boleh mundur sebelum pasukan meriam ditarik.
Namun serangan udara Belanda memaksa ia dan rekan-rekannya mundur hingga ke Gubug, Grobogan. Di sana mereka menumpang di rumah warga keturunan Tionghoa.
“Kami disuruh sembelih ayam sendiri untuk makan,” ujarnya.
Kehidupan seorang pejuang kala itu jauh dari sejahtera. Tidak ada gaji, hanya makan seadanya dari dapur umum atau uluran keluarga.
“Kalau pejuang asli Demak, kadang pulang minta uang keluarga, baru balik ke medan perang. Saya tidak bisa, rumah di Semarang sudah dibakar,” tuturnya.
Perang, Kehilangan, dan Ketabahan
Mbah Sochib juga masih ingat bagaimana tentara Jepang memperlakukan warga dengan brutal.
Gurunya, seorang kiai kampung, dibunuh dengan bayonet setelah didatangi tentara Jepang yang berpura-pura mengetuk pintu dengan sopan pada malam hari.
“Sejak itu diumumkan, kalau ada yang mengetuk pintu tengah malam jangan dibuka. Bisa jadi itu Jepang,” ujarnya.
Pengalaman pahit itu makin meneguhkan tekadnya berjuang. Meski ibunya menangis ketika ia memutuskan masuk laskar Hizbullah, Sochib tetap mantap.
“Saya bilang, temannya banyak, di sini juga diberi makan. Saya cuma minta doa ibu,” kenangnya.
Pada pertengahan 1947, ketika proses naturalisasi dilakukan, semua laskar dimasukkan ke dalam TNI.
Mereka yang buta huruf dipulangkan, sesuai arahan Presiden Soekarno bahwa tentara Indonesia harus bisa membaca dan menulis.
Sochib, yang hanya menempuh pendidikan setingkat SD, beruntung bisa bertahan.
Kini, di usia senja, ia menitipkan pesan sederhana untuk generasi muda.
“Anak-anak sekarang sudah zamannya maju. Harus belajar yang baik. Jangan terpengaruh pergaulan bebas. Supaya Indonesia bisa maju,” katanya.
Nasib Veteran di Ujung Usia
Kisah Mbah Sochib hanyalah satu dari sedikit yang masih bisa dituturkan langsung oleh saksi hidup perjuangan. Jumlah veteran di Demak terus menurun drastis.
Ramadhon, Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Demak, menyebutkan saat ini hanya ada 25 orang veteran yang masih hidup.
Dua di antaranya adalah veteran pejuang kemerdekaan, yakni Mbah Sochib dari Batursari dan Mbah Khusen dari Kebobatur.
Selebihnya adalah veteran pembela Trikora (1 orang), Seroja (8 orang), serta veteran perdamaian (14 orang).
“Jumlah veteran terus berkurang. Di Jawa Tengah dulu ada 4 ribu lebih, sekarang seribu saja tidak ada. Mungkin tinggal 500 orang,” ujar Ramadhon.
Ia pun berharap pemerintah memberikan perhatian lebih, terutama melalui revisi UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran.
“Harapan kami, veteran perdamaian bisa memiliki hak yang sama dengan veteran PKRI dan pembela. Kalau tidak, sejarah bisa terputus. Veteran makin habis, tapi pengakuan terhadap jasa mereka tidak ada,” tegasnya.
Ramadhon menambahkan, kondisi ekonomi para veteran juga memprihatinkan.
“Banyak yang hidup di garis kemiskinan. Dulu pernah ada bansos, sekarang tidak ada. Kami sudah sampaikan ke pemerintah, tapi belum ada tindak lanjut,” katanya.
Mengingat yang Hampir Dilupakan
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan setiap tahun, kisah para veteran kerap terpinggirkan. Mereka yang dulu mempertaruhkan nyawa demi merah putih, kini justru hidup dengan segala keterbatasan.
Kehidupan Mbah Sochib di Demak hanyalah potret kecil dari realitas besar: bahwa kemerdekaan tidak datang tiba-tiba, melainkan lewat darah, air mata, dan pengorbanan.
“Perjuangan dulu ikhlas, tidak pakai gaji. Yang penting merdeka,” ucapnya dengan suara bergetar.
Kini, di usia senja, Mbah Sochib hanya bisa berharap generasi muda tetap menjaga Indonesia dengan cara yang berbeda: belajar dengan sungguh-sungguh, menjaga moral, dan tidak melupakan sejarah.
Sebab, tanpa mengingat jasa para pejuang, bangsa ini bisa kehilangan arah.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus