Maaf Penguasa Tak Cukup, Seniman Magelang 'Tampar' Pemerintah Lewat Puisi Menohok

Di tengah permintaan maaf dari elite politik, Komunitas Lima Gunung di Magelang menggelar ritual budaya 'Lelanane Jangka Gunung'

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 05 September 2025 | 16:37 WIB
Maaf Penguasa Tak Cukup, Seniman Magelang 'Tampar' Pemerintah Lewat Puisi Menohok
Para pegiat Komunitas Lima Gunung berjalan mengelilingi Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam rangkaian performa ritual doa "Lelanane Jangka Gunung" untuk kebaikan bangsa dan negara di Magelang, Kamis (4/9/2025) petang. ANTARA/Hari Atmoko
Baca 10 detik
  • Maaf Prabowo & DPR tak cukup redam kritik rakyat.
  • Seniman Magelang kirim 'tamparan' lewat ritual budaya.
  • Kisah bulus jadi simbol pengingat bagi para elite.

SuaraJawaTengah.id - Permintaan maaf dari Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR RI atas carut-marut pengelolaan negara agaknya belum cukup meredam kegelisahan publik.

Dari kaki lima gunung di Magelang, para seniman justru mengirim 'tamparan' keras lewat sebuah ritual budaya, menegaskan bahwa rakyat adalah juragan yang tak bisa lagi hanya disuguhi pernyataan.

Melalui acara bertajuk "Lelanane Jangka Gunung", Komunitas Lima Gunung menyuarakan kegundahan yang sudah mencapai ubun-ubun.

Di tengah nyala puluhan obor di Studio Mendut, Magelang, Kamis (4/9/2025) malam, penyair Munir Syalala dengan lantang membacakan puisi tanpa judul yang menohok langsung ke jantung kekuasaan.

Baca Juga:Ironi! Program MBG Andalan Prabowo di Demak Dikuasai Swasta, Daerah Miskin Gigit Jari!

"Bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kita punya sistem. Kita punya hukum. Kita punya aparat. Tapi apakah semua itu sungguh berpihak pada kita? Atau hanya panggung besar, dan kita dipaksa jadi penonton yang bayar tiket, tanpa pernah boleh ikut menentukan ceritanya?".

Puisi tersebut seakan menjadi cermin bagi para elite penguasa yang belakangan menyampaikan permohonan maaf. Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta masyarakat percaya pada pemerintahannya untuk memperbaiki keadaan.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang memohon maaf atas nama seluruh anggota dewan dan berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh.

Namun bagi para seniman petani ini, kata-kata tak lagi memadai. Aksi mereka, yang disebut dalang Sih Agung Prasetyo sebagai "Parade puisi Lima Gunung untuk negeri", adalah wujud nyata bahwa perbaikan riil yang dirasakan rakyat jauh lebih mendesak.

Acara ini bukan sekadar panggung sastra. Performa ritual diawali dengan prosesi berjalan tanpa alas kaki dari Studio Mendut menuju Candi Mendut.

Baca Juga:Polresta Magelang Cegah Puluhan Kendaraan Balap Liar, Dikukut Saat Razia

Para peserta mengenakan pakaian serba putih, bahkan sajian makanan pun serba putih, mulai dari nasi gurih, bihun, hingga ubi kayu. Ini adalah simbolisasi usaha untuk membersihkan dan menjernihkan keadaan negeri yang dianggap muram dan keruh.

Budayawan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, turut mengingatkan penguasa melalui kisah relief di Candi Mendut tentang bulus (kura-kura) yang ingin terbang dibantu sepasang angsa.

Karena tak bisa menahan diri untuk tidak bicara, kura-kura itu akhirnya terjatuh dan mati.

Pesan simbolis ini sangat jelas: sebuah peringatan bagi penguasa dan elite untuk senantiasa rendah hati dan mawas diri. Kepemimpinan yang sah secara legalitas harus diimbangi dengan wibawa agar tidak jatuh dan kehilangan kepercayaan rakyatnya.

Selain Munir, tampil pula para penyair dan pegiat seni lain seperti Wicahyanti Rejeki, Novian Nugroho, hingga Siwi Kawuryan Winangsit yang membawakan karya-karya sastrawan besar seperti WS Rendra, Gus Mus, dan Wiji Thukul.

Mereka seolah menegaskan bahwa kritik dan kegelisahan ini berakar kuat dalam sejarah perlawanan intelektual bangsa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini