- Fotografer Beawiharta sebut visual kini jadi bahasa lebih kuat dibanding tulisan di era digital.
- Foto bisa jadi penanda zaman jika memotret objek sama dalam rentang waktu 10-20 tahun mendatang.
- PFI Semarang berkomitmen jadikan fotografi sebagai penjaga ingatan kolektif masyarakat dan bangsa.
SuaraJawaTengah.id - Di tengah derasnya arus informasi digital, kekuatan sebuah gambar ternyata mampu berbicara lebih lantang daripada ribuan kata.
Fotografer senior, Beawiharta, menegaskan bahwa visual telah mengambil alih peran utama dalam menyampaikan pesan, menggeser dominasi narasi tulisan yang panjang.
Hal itu diungkapkannya dalam diskusi bertajuk “Jejak Visual Penanda Zaman” yang digelar Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang sebagai bagian dari program Semarang Punya Cerita #Kelas 1 di Rumah Pohan, Kota Semarang, Jumat (12/9/2025).
Menurut Beawiharta, audiens masa kini tidak lagi membutuhkan uraian teks yang bertele-tele untuk memahami sebuah peristiwa. Sebuah foto yang kuat, didukung keterangan singkat, sudah lebih dari cukup untuk menyampaikan esensi kejadian.
Baca Juga:Damai Dosen Unissula Ngamuk Penuh Tekanan? IDI Jateng Pasang Badan untuk Dokter RSI Sultan Agung
“Visual hari ini sudah menjadi bahasa yang lebih kuat dibanding tulisan. Kalau dulu orang butuh narasi panjang, sekarang yang dibutuhkan justru poin-poin singkat berisi informasi mengenai kapan, dimana, siapa, dan apa yang terjadi. Itu saja sudah cukup, selebihnya gambar yang berbicara," kata Beawiharta.
Pria yang lama berkarir untuk kantor berita Reuters ini mencontohkan bagaimana foto atau video kerusuhan bisa langsung dipahami publik, bahkan dengan keterangan seadanya. Fungsi keterangan atau caption kini lebih sebagai pembatas agar interpretasi audiens tidak liar.
“Narasi atau caption itu fungsinya pembatas. Sekadar memberi tahu lokasi, subjek, waktu, dan peristiwa. Sisanya disampaikan langsung lewat visual,” tuturnya.
Lebih dari sekadar dokumentasi, Beawiharta menekankan bahwa karya foto jurnalistik memiliki peran krusial sebagai dokumentasi publik.
Namun, ia juga mengingatkan para pewarta foto untuk selalu cermat mengukur risiko saat berada di lapangan. Keselamatan tetap menjadi prioritas utama.
Baca Juga:Gamelan Jawa Pikat Musisi Belanda, Belajar Kilat 3 Jam di Sanggar Semarang
“Tidak semua rusuh harus kita datangi. Tidak semua peristiwa harus kita potret. Karena ada bahaya yang mesti diukur. Kita perlu yang namanya mapping, menghitung mana yang layak diliput dan mana yang lebih baik dilepas. Dengan begitu, kita tetap bisa menghadirkan penanda zaman tanpa mengorbankan keselamatan,” ucap pria yang menerbitkan buku berjudul UNBREAKABLE pada 2023 tersebut.
Lantas, bagaimana cara menciptakan sebuah karya foto yang benar-benar bisa menjadi penanda zaman? Beawiharta membagikan kuncinya, yaitu konsistensi dan perencanaan jangka panjang.
Ia menyarankan para fotografer untuk memotret satu objek yang sama dalam kurun waktu yang berbeda untuk merekam perubahan.
“Kalau kamu punya visual penanda zaman, itu akan jadi sangat penting. Misalnya memotret kereta hari ini, lalu mengulang 10 atau 20 tahun mendatang. Dulu orang naik kereta berdesakan, panas, penuh pedagang asongan. Sekarang kereta lebih wangi, nyaman, dan berkelas. Perubahan itulah yang bisa terekam. Tapi kita harus mapping dari awal: apakah perlu motret bagian luar, bagian dalam, penumpangnya, atau detail lain yang bisa dibandingkan di masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris PFI Semarang, Aprillio Akbar, menyatakan bahwa program Semarang Punya Cerita dirancang sebagai ruang edukasi untuk memperkuat kapasitas pewarta foto dan menegaskan peran fotografi sebagai penjaga ingatan kolektif.
"Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas pewarta foto, memperluas wawasan masyarakat, dan menegaskan fotografi sebagai sarana dokumentasi sejarah sekaligus refleksi sosial. Dengan begitu, PFI Semarang tidak hanya menjalankan fungsi pers sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penjaga ingatan kolektif masyarakat," kata Aprillio Akbar.