Isinya sangat provokatif, menyinggung soal "our local army friends" (teman-teman tentara lokal kita) yang seolah mengonfirmasi adanya kolaborasi antara para jenderal dengan pihak Barat untuk menggulingkan Sukarno.
Bocoran dokumen ini datang di saat hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat, terutama Inggris, sedang di titik nadir akibat konfrontasi dengan Malaysia.
Presiden Sukarno disebut sangat terkejut dan marah. Meskipun keaslian dokumen ini sangat diragukan—banyak yang meyakini ini adalah operasi intelijen asing atau bahkan "false flag" untuk mengadu domba—namun pada saat itu, dokumen tersebut sukses membakar emosi dan memperkuat keyakinan bahwa Dewan Jenderal benar-benar nyata dan berbahaya.
Kesaksian Bertolak Belakang dan Posisi Strategis Soeharto
Baca Juga:Mengenang Kisah Cinta PierreTendean, Pahlawan yang Gugurdalam Peristiwa G30S/PKI
Informasi simpang siur membuat suasana semakin tidak menentu. Jenderal Ahmad Yani, saat ditanya mengenai isu ini, menanggapinya dengan enteng dan menyebut Dewan Jenderal hanyalah dewan yang mengurus kenaikan pangkat (Wanjakti).
Namun, kesaksian berbeda datang dari Brigjen Supardjo, salah satu tokoh kunci G30S, yang bersikukuh bahwa Dewan Jenderal itu ada dan bahkan telah menyusun kabinet bayangan.
Di tengah kekacauan ini, Soeharto memainkan perannya dengan sangat hati-hati. Ia sempat mengutus Yoga Sugama untuk memperingatkan Mayjen S. Parman tentang isu penculikan, namun peringatan itu tak dianggap serius. Langkah Soeharto dinilai sangat strategis.
Kegagalan operasi G30S memberinya panggung untuk tampil sebagai pahlawan penyelamat, dan keberhasilannya membuka jalan lebar menuju puncak kekuasaan.
Kontributor : Dinar Oktarini
Baca Juga:Selamat dari Maut G30S/PKI, Begini Kisah Dramatis Jenderal AH Nasution Selamatkan Diri