6 Hoaks Panas Pemilu 1955, Pertarungan Ideologi Antara PKI vs Masyumi

Pemilu 1955 yang dipuji demokratis, nyatanya diwarnai kampanye hitam, hoaks, dan politisasi identitas. Polarisasi berujung tragedi 1965 dan perubahan politik.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 24 September 2025 | 07:34 WIB
6 Hoaks Panas Pemilu 1955, Pertarungan Ideologi Antara PKI vs Masyumi
Ilustrasi peristiwa gerekan G30S PKI. [ChatGPT]
Baca 10 detik
    • Pemilu 1955 diwarnai kampanye frontal, serangan personal, dan hoaks identitas yang menenggelamkan isu programatik.
    • Polarisasi politik makin tajam akibat media, fitnah agama, hingga debat ideologis yang digiring elite partai.
    • Benih konflik 1955 meledak pada 1965; jadi pelajaran bahwa hoaks dan politik identitas rawan merusak demokrasi.

SuaraJawaTengah.id - Pemilu 1955 sering dipuji sebagai pemilu paling demokratis pada awal republik. Namun kenyataannya, kontestasi justru dipenuhi serangan personal, tuduhan, dan agitasi yang menenggelamkan isu programatik.

Hoaks dan fitnah menjadi senjata utama untuk mempertajam perbedaan antarpartai besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Identitas dan religiusitas ikut ditarik ke panggung politik, membuat demokrasi muda Indonesia rapuh.

Polarisasi yang lahir sejak 1955 tidak berhenti di kotak suara. Ia terus menumpuk hingga akhirnya meledak dalam krisis 1965. Tragedi G30S/PKI menjadi titik balik: negara membubarkan PKI dan peta politik nasional berubah drastis.

Partai besar yang dulu mendominasi pemilu pun hilang, meninggalkan jejak luka sejarah yang panjang. Simak 6 fakta Pemilu 1955 khususnya pertarungan PKI dan Masyumi sebagaimana dikutip dari YouTube Sejarah Seru. 

Baca Juga:Pembantaian Purwodadi: Mengungkap Salah Satu Babak Tergelap Sejarah Indonesia Pasca-G30S PKI

1. Kampanye yang lugas dan frontal, aturan masih longgar

Pada 1955, regulasi kampanye belum serinci sekarang. Serangan terbuka kepada lawan politik berlangsung di rapat umum dan media cetak.

KH Isa Ansari dari Masyumi Jawa Barat tercatat melontarkan serangan keras dengan menyebut lawan politik sebagai munafik dan kafir. Nada ini memperlihatkan kampanye yang gamblang serta minim filter, sehingga opini publik mudah terseret arus emosi. 

2. Serangan balasan PKI ikut mengeraskan suasana

Tidak hanya menerima hantaman, elite PKI membalas dengan retorika tandingan di panggung terbuka. D. N. Aidit menarasikan bahwa bergabung dengan PKI itu halal, sedangkan Masyumi digambarkan sebaliknya.

Baca Juga:Menguak Misteri Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist, Bahan Bakar Tragedi G30S PKI

Pernyataan seperti ini menyulut eskalasi psikologis antara barisan massa, mempertebal polarisasi, dan mengalihkan perhatian dari diskursus program yang substansial. 

3. Media cetak menjadi alat perang opini

Pertempuran narasi tidak berhenti di podium. Media menjadi senjata untuk mengokohkan persepsi. Majalah Hikmah milik Masyumi membuka rubrik “Kawan dan Lawan”, sementara harian Abadi secara rutin menguliti PKI.

Di sisi lain, kanal milik PKI memukul balik dengan framing geopolitik: lawan dituding antek Amerika, sebaliknya mereka dituding antek Moskow. Perang label ini membuat publik akrab dengan dikotomi “kita” versus “mereka. 

4. Hoaks bernuansa agama yang memantik emosi

Salah satu cerita paling terkenal adalah isu sobekan Al-Qur’an berstempel PKI. Di sobekan itu tertulis “Masyumi” yang sekilas terbaca “asu” dalam bahasa Jawa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak