- Dr. Lim Joe Thay, dokter forensik muda, terlibat langsung autopsi jenazah tujuh pahlawan revolusi pasca G30S.
- Hasil autopsi membantah isu mutilasi keji, luka yang ada dominan akibat tembakan dan proses pembusukan.
- Fakta medis tidak dipublikasikan, propaganda penyiksaan tetap disebarkan demi kepentingan politik rezim.
SuaraJawaTengah.id - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) menjadi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Tujuh perwira tinggi Angkatan Darat menjadi korban, dan kisah tentang bagaimana mereka ditemukan serta diperiksa secara medis masih menyisakan tanda tanya hingga kini.
Di balik layar, ada sosok dokter forensik yang menyaksikan langsung kondisi jenazah para pahlawan revolusi tersebut.
Dialah Dr. Lim Joe Thay, seorang dokter muda kala itu, yang terlibat langsung dalam proses autopsi dan merekam pengalaman berharga sekaligus menegangkan yang jarang diketahui publik sebagaimana dikutip dari YouTube Roudhoh Channel. .
Baca Juga:Terungkap! 5 Alasan Mengejutkan di Balik Popularitas PKI di Pemilu 1955
1. Bermula dari Kehadiran Banyak Tentara
Malam 4 Oktober 1965 menjadi salah satu titik balik dalam sejarah hidup Dr. Lim Joe Thay. Saat itu, lebih dari 20 tentara datang dengan truk ke rumahnya di kawasan Glodok, Jakarta.
Ibunya sempat panik, mengira anaknya ditangkap karena terlibat dalam gerakan komunis. Namun ternyata, tentara itu membawa surat dari Prof. Sutomo Chokronegoro. Surat tersebut memintanya segera ke RSPAD Gatot Subroto untuk membantu melakukan autopsi terhadap tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang gugur pada peristiwa G30S.
2. Suasana Mencekam di Jakarta
Jakarta kala itu masih diselimuti jam malam. Jalanan penuh pos penjagaan, dengan tentara yang siap menodongkan senjata jika ada gerakan mencurigakan.
Baca Juga:5 Penyebab Banyaknya Satuan Tentara yang Terpengaruh PKI di Jawa Tengah
Dr. Lim, yang masih muda dan baru lulus sebagai spesialis forensik, diantar dengan truk tentara menuju rumah sakit. Ia duduk di depan, sementara pikirannya diliputi rasa takut.
Untungnya, perjalanan itu berakhir selamat. Sesampainya di RSPAD, ia langsung bertemu gurunya, Prof. Sutomo, serta rekannya, Dr. Ferry Liao Yansiang.
3. Kondisi Jenazah Para Jenderal
Di ruang autopsi, Dr. Lim menyaksikan langsung kondisi jenazah yang sudah membusuk setelah tiga hari di dalam sumur Lubang Buaya. Meski demikian, jenazah masih berpakaian lengkap.
Setiap detail diperiksa, mulai dari gigi hingga kondisi pakaian. Ia bahkan mengenali Jenderal Ahmad Yani dari kelainan giginya. Pada jenazah tersebut, bola mata sudah terlepas akibat kepala lebih dulu masuk ke air dalam sumur.
Sisa pecahan kaca di piyama Jenderal Ahmad Yani juga masih menempel, bukti ia ditembak di depan pintu kaca rumahnya.
Sementara itu, Jenderal M.T. Haryono ditemukan dengan pergelangan tangan hancur, sebuah luka yang menurut Dr. Lim tidak mungkin hanya akibat jatuh ke dalam sumur. Kepala Jenderal Sutoyo pun pecah akibat tembakan.
4. Suharto Turut Menyaksikan
Autopsi berlangsung sepanjang malam hingga dini hari. Saat para dokter sibuk bekerja, Soeharto—yang kala itu mulai mengambil peran penting—datang ke ruang autopsi.
Ia hanya berdiri mengenakan pakaian tempur tanpa berkata sepatah kata. Meski suasana penuh tekanan, Dr. Lim menegaskan bahwa tidak ada intervensi langsung dari pihak militer terhadap jalannya pemeriksaan medis.
5. Membantah Isu Penyiksaan
Salah satu hal yang paling krusial adalah membantah isu yang beredar di masyarakat. Propaganda kala itu menyebut para jenderal mengalami penyiksaan mengerikan: alat vital dipotong, mata dicongkel, tubuh dimutilasi.
Dr. Lim bersama timnya menegaskan tidak ada bukti medis yang mendukung klaim tersebut. Ia bahkan memeriksa organ intim para korban secara teliti dan memastikan tidak ada luka iris, apalagi pemotongan.
Begitu pula dengan bola mata yang hilang—itu disebabkan proses pembusukan, bukan tindakan keji.
Namun, Dr. Lim juga menegaskan bahwa bukan berarti para jenderal tidak disiksa sama sekali. Jenazah mereka jelas menunjukkan bekas tembakan berulang kali.
Beberapa luka, seperti di pergelangan tangan Haryono, tidak bisa dijelaskan hanya dengan jatuh ke sumur. Tetapi, sejauh hasil visum, tidak ada tanda mutilasi sebagaimana diberitakan.
6. Kebenaran yang Disembunyikan
Setelah autopsi selesai, para dokter sempat merasa waswas. Mereka sadar hasil temuan mereka berlawanan dengan isu yang beredar di masyarakat.
Dalam rapat internal dini hari 5 Oktober, mereka bersepakat menuliskan hasil visum secara jujur. Dr. Lim mengingatkan bahwa ini adalah tugas negara, dan kebenaranlah yang harus dikemukakan, sekalipun nyawa mereka terancam.
Sayangnya, laporan lengkap hasil autopsi itu tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat. Soeharto, yang menerima laporan resmi, membiarkan media massa—khususnya Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—menyebarkan narasi penyiksaan.
Propaganda tersebut menjadi alat ampuh untuk membangkitkan kemarahan publik dan membenarkan penumpasan besar-besaran terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta simpatisannya.
7. Refleksi Seorang Dokter
Bagi Dr. Lim, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam. Ia bekerja dengan penuh objektivitas, tanpa campur tangan pihak manapun. Sebagai dokter muda, ia merasa harus memegang teguh kebenaran medis.
Hasil autopsi itu memang tidak sejalan dengan propaganda, namun bagi Dr. Lim, profesionalitas dan integritas tetap nomor satu.
Lebih dari sekadar pengalaman medis, peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana sains dan politik bisa berbenturan keras. Autopsi yang seharusnya bersifat objektif justru tenggelam dalam arus kepentingan kekuasaan.
Fakta-fakta yang ditemukan di meja forensik tidak disampaikan ke publik, melainkan dikaburkan oleh narasi besar yang sengaja dibangun.
Kisah Dr. Lim Joe Thay memberi kita pelajaran penting tentang keberanian dalam menjaga integritas ilmiah. Di tengah pusaran politik penuh intrik, ia tetap berpegang pada kebenaran. Autopsi para pahlawan revolusi membuktikan bahwa banyak kabar penyiksaan hanyalah propaganda.
Namun, kebenaran itu sengaja disembunyikan demi kepentingan politik. Sejarah mencatat, bahwa terkadang yang nyata di meja forensik bisa berbeda jauh dengan yang ditulis di koran.
Kontributor : Dinar Oktarini